Nama "Rohingya" berasal dari kata "Rohang," yang diyakini merupakan nama kuno dari Rakhine (Arakan) di negara Myanmar. Kekerasan terakhir di negara bagian Rakhine Rohingya telah menyebabkan banyak warga Myanmar khususnya Muslim Rohingya mengungsi dan mencoba untuk menyeberangi perbatasan sejauh 200 kilometer menuju Bangladesh. Sekitar 40% dari populasi negara bagian Rakhine diperkirakan beragama Muslim.
Bangladesh berbatasan dengan dua negara bagian Myanmar, yaitu negara bagian Rakhine (Arakan) dan negara bagian Chin. Kebanyakan penduduk negara bagian Chin memeluk agama Kristen. Tidak ada pengungsi yang datang dari negara bagian Chin ke Bangladesh.
Di Myanmar, selain Muslim Rakhine (Rohingya), ada juga Muslim yang tinggal di bagian lain Myanmar. Mereka datang dari Gujarat (India) dan Cina, dan hidup damai dengan kelompok-kelompok etnis lainnya di berbagai negara bagian dan wilayah di Myanmar, termasuk Yangon.
Muslim Rohingya terlihat seperti orang Bangladesh yang tinggal di tenggara dan dialek berbicara mereka memang lebih dekat dengan orang Bangladesh di perbatasan. Mereka dapat dengan lebih mudah berbaur dengan masyarakat setempat.
Selanjutnya, dilaporkan bahwa terjadi kerusuhan baru-baru ini yang bermula pada tanggal 3 Juni 2012 setelah polisi di Rakhine dilaporkan telah menahan tiga pria Muslim (Rohingya) sehubungan dengan dugaan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang wanita Budhis akhir bulan lalu. Belum selesai proses penyidikan terhadap kasus tersebut, muncul kejadian penyerangan secara serampangan dan membabi buta oleh umat Budha di dalam bus pada awal Juni yang menewaskan 10 orang muslim. Menurut laporan pejabat Myanmar, korban tewas ada 13 Budhis Rakhine dan 16 Muslim Rohingya.
Pertanyaannya adalah, mengingat kejadian kerusuhan di negara bagian Rakhine awal Juni lalu, dapatkah Rohingya dianggap sebagai "pengungsi" menurut Konvensi PBB tentang Pengungsi tahun 1951 atau Protokol 1967?
Agar memenuhi syarat sebagai pengungsi, harus ada unsur alasan "ketakutan yang beralasan karena penganiayaan" oleh negara. Kerusuhan ini dipicu dari tindakan yang diduga murni kejadian kriminal terhadap perempuan Budha oleh beberapa Muslim Rohingya dan tidak timbul dari penganiayaan oleh pihak berwenang. Hal ini dianggap sebagai masalah hukum biasa di Myanmar.
Bangladesh bukanlah pihak yang ikut menandatangani Konvensi PBB tentang Pengungsi (UN Convention of the Refugees). Sehingga tidak ada kewajiban hukum untuk menerima Muslim Rohingya sebagai pengungsi. Namun demikian, meskipun tidak memiliki kewajiban secara hukum, tetapi setidaknya Bangladesh memiliki sebuah kewajiban moral atau kemanusiaan dalam situasi perang seperti kejadian yang menimpa Muslim Rohingya. Namun mengingat kejadian di Myanmar adalah bentrokan sektarian antara minoritas dan kelompok mayoritas di negara bagian Rakhine, Muslim Rohingya tidak bisa disebut dalam definisi "pengungsi".
Pada tanggal 13 Juni 2012, Menteri Luar Negeri Bangladesh Dr. Dipu Moni mengatakan, Bangladesh tidak mau memberikan perlindungan bagi Muslim Rohingya meskipun dunia internasional menyerukan agar membuka pintu perbatasan. "Kami sudah dibebani dengan ribuan pengungsi Rohingya yang tinggal di Bangladesh dan kita tidak ingin lagi ada tambahan dari mereka," katanya.
Dalam pandangan saya, sikap pemerintah sudah benar dengan alasan yang saya perkuat sebagai berikut:
Pertama, Bangladesh adalah negara yang tergolong kelebihan penduduk dibandingkan dengan ukuran teritorialnya (sekitar 160 juta orang terjepit di daerah berukuran luas 147.570 kilometer persegi). Pejabat Bangladesh memperkirakan ada sekitar 300.000 Muslim Rohingya di negeri ini (Bangladesh), dengan sekitar sepersepuluh dari para pengungsi itu menempati dua kamp pengungsi resmi di distrik selatan Bazaar Cox.
Kedua, pengungsi Rohingya merupakan beban berat bagi ekonomi Bangladesh dan sumber daya yang minim. Dilaporkan bahwa penduduk setempat banyak yang tidak mau menerima pengungsi Rohingya, beberapa di antaranya diduga karena keterlibatan mereka dalam kegiatan yang tidak diinginkan baik di dalam area lokal atau di perbatasan. Oleh warga setempat, pengungsi Muslim Rohingya dianggap sebagai ancaman bagi kedamaian dan keamanan masyarakat setempat.
Ketiga, pengungsi Rohingya dilaporkan telah menciptakan citra buruk tentang Bangladesh di kawasan Timur Tengah yang merupakan salah satu tempat tujuan rakyat Bangladesh mencari penghidupan. Hal itu diduga karena sebagian besar "Bangladesh" yang banyak melakukan kejahatan di Arab Saudi diketahui ternyata merupakan Muslim Rohingya berpaspor palsu Bangladesh atau dipalsukan.
Keempat, banyak yang percaya bahwa, setelah dirampas hak-haknya sebagai warga negara Myanmar sejak tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win merebut kekuasaan, banyak Muslim Rohingya dilaporkan melakukan perlawanan gerilya melalui sebuah organisasi perlawanan antara lain: Arakan Rohingya National Organisation dan Arakan Rohingya Islamic Front untuk menuntut kemerdekaan tanah Rohingya di negara bagian Rakhine. Pada tahun 1978, ketika Bangladesh pada kesepakatan dengan pengungsi Rohingya untuk dipulangkan ke Myanmar, pengungsi Muslim Rohingya dilaporkan menolak pemulangan mereka sampai tanah itu benar-benar "aman" menurut sudut pandang mereka.
Kelima, kesalahpahaman serius telah tercipta di masa lalu antara Bangladesh dan Myanmar tentang isu pengungsi Muslim Rohingya. Bangladesh tidak ingin terlibat salah paham tentang masalah itu dengan salah satu tetangga terdekatnya, yang berada pada jalur mantap menuju reformasi yang demokratis. Perdana Menteri Bangladesh mengunjungi Myanmar Desember lalu dan presiden Myanmar diperkirakan akan berkunjung pada pertengahan Juli - setelah jeda 26 tahun.
Pemimpin pro demokrasi Aung San Suu Kyi bulan lalu bertemu dengan ribuan pengungsi Myanmar yang sekarang tinggal di kamp perbatasan Thailand. Dia berjanji untuk mencoba sebanyak yang dia bisa lakukan untuk membantu mereka kembali ke rumah mereka di Myanmar. Suu Kyi juga bersumpah untuk tidak melupakan mereka. Namun yang perlu dicatat, dia hanya bersikap diam pada kekerasan yang terjadi saat ini di negara bagian Rakhine dan terhadap pengungsi Muslim Rohingya di Bangladesh. Tentu saja sikap ini sangat mengecewakan.
Diharapkan, selama Suu Kyi melakukan tur Eropa, para pemimpin Eropa dan Organisasi Hak Asasi Manusia harus mendesaknya untuk mengatasi kerusuhan dan akar permasalahan pengungsi Muslim Rohingya di Bangladesh.
Sekretaris Jenderal PBB harus memainkan peran aktif dalam mengatasi isu-isu komunitas agama minoritas di negara bagian Rakhine dengan pemerintah Myanmar.
Karena Bangladesh sudah menjadi tempat berlidung lebih dari 300.000 pengungsi Muslim Rohingya dari Myanmar, ada pandangan bahwa negara-negara dan organisasi yang menyerukan Bangladesh untuk membuka perbatasan untuk Muslim Rohingya pada pertimbangan kemanusiaan diharapkan dapat mengirimkan pesawat atau kapal penumpang ke Chittagong, Bangladesh dan dapat membuka perbatasan dengan syarat bahwa mereka yang datang ke Bangladesh dari Myanmar akan dikirim ke negara tersebut.
Dari 15,4 juta pengungsi di dunia hari ini, catatan menunjukkan bahwa negara-negara berkembang di Asia dan Afrika telah menampung 80% jumlah pengungsi dunia. Namun yang perlu dicatat, negara-negara Barat justru mengubah negara mereka menjadi seperti "benteng kuat". Negara Barat sangat enggan untuk menerima pengungsi-pengungsi dunia di negara dan tanah mereka. [muslimdaily]
*Diterjemahkan dari tulisan Harun ur Rasyid pada The Daily Star tanggal 20 Juni 2012.
Penulis adalah mantan Duta Besar Bangladesh untuk PBB di Jenewa.