PENDAHULUAN
Raden Bratakesawa, seorang tokoh muslim di Jawa, selama ini banyak
disalahpahami orang. Beberapa cendekiawan Kristen, misalnya,
menggambarkan pribadinya sebagai tokoh kebatinan. Dari deskripsi
manipulatif inilah kesalahpahaman itu berakar. Padahal Bratakesawa
adalah seorang muslim, bahkan seorang dai. Hal ini terungkap dari
testimoni dan kiprahnya dalam membangun kehidupan rohani masyarakat
muslim di Jawa melalui tulisan-tulisan berbobot yang dihasilkannya.
Harun Hadiwijono – doktor ilmu teologi, pendeta, dan penulis sejumlah
buku tentang Kristen – memposisikan Bratakesawa masuk ke dalam jajaran
tokoh Kebatinan. Ia membahas sosok dan ajaran Bratakesawa ke dalam salah
satu bagian dari bukunya ”
Kebatinan dan Injil”. Berpatokan pada penilaian Imam Supardi bahwa karya Bratakesawa ”
berlainan sekali dengan tulisan-tulisan tentang kebatinan yang lain”, Hadiwijono menyimpulkan bahwa Bratakesawa merupakan tokoh kebatinan dan ajarannya merupakan doktrin kebatinan.
[1]
Bambang Noorsena, Tokoh Kristen Orthodoks Syria (KOS), dalam buku ”
Menyongsong Sang Ratu Adil: Menyongsong Sang Ratu Adil” menempatkan ”
Serat Kuntji Swarga” karya Bratakesawa sebagai salah satu literatur kebatinan Jawa.
[2]Karya
tulis Bambang Noorsena ini kurang mengetengahkan model pembahasan yang
tertib dan argumentatif. Untuk sebuah tulisan yang berusaha mengungkap
relasi antara Kekristenan dan Kejawen, karya ini justru gagal
mendefinisikan makna ”kebatinan” maupun ”kejawen” itu sendiri. Kegagalan
terminologis ini selanjutnya secara signifikan berpengaruh terhadap
proses seleksi dan deskripsi terhadap entitas yang diidentifikasi
sebagai ”kebatinan” atau ”kejawen”. Diantara konsekuensi pengunaan model
ini, Bambang Noorsena sering menganggap bahwa sosok Nabi Isa dalam
literatur Jawa mengacu pada Yesus dalam Kekristenan dan menjadi
justifikasi bagi teorinya tentang keberadaan perjumpaan antara entitas
Kristen dan Jawa, meskipun sebenarnya Nabi Isa yang dimaksud lahir dari
konsepsi Islam.
[3]
Pandangan yang memposisikan Bratakesawa sebagai tokoh kebatinan
seperti di atas, secara umum tidak memberikan garis batas yang tegas
terhadap terminologi ”kebatinan” dan yang di luar itu. Bangunan
argumentasinya hanya didasarkan pada karya Bratakesawa dalam kuantitas
yang terbatas. Harun Hadiwijono mendasarkan pandangannya berdasarkan dua
karya Bratakesawa yaitu ”Serat Kuntji Swarga” dan ”Wirid I.T.M.I.”.
Sedangkan Bambang Noorsena hanya pada satu karya Bratakesawa yaitu
”Serat Kuntji Swarga”.
Kekuatan argumentasi yang dibangun dengan sedikit ”dalil” sangat
jarang akan menghasilkan sebuah pandangan yang memiliki kebenaran secara
meyakinkan. Apalagi dalam kasus ini, baik ”Serat Kuntji Swarga” maupun
”Wirid I.T.M.I” sejak awal justru menunjukkan diri sebagai literatur
keislaman, bukannya ”kebatinan”. Kedua buku itu saja telah menunjukkan
warna keislaman yang kental dari pribadi Bratakesawa. Bahasa yang
digunakan oleh kedua buku tersebut juga cukup sederhana sehingga mudah
dipahami dan pada titik tertentu seharusnya tidak menimbulkan
kesalahpahaman.
PEMIKIRAN BRATAKESAWA
Bratakesawa lahir sekitar tahun 1898 M.
[4] Nama
sebenarnya adalah Gatoet Sastrodiharjo. Ia mulai karernya di Klaten
sebagai sekertaris kedua Insulinde Surakarta tahun 1919 dan komisaris SH
Surakarta tahun 1920. selama bertugas di Klaten, Bratakesawa banyak
melakukan interaksi berbagai kelompok pergerakan maupun individu. Salah
satu tokoh pergerakan juga pimpinan sebuah kelompok yaitu Mangunatmaja
sebagai pimpinan Sarekat Abangan sekaligus pimpinan SI Delanggu. Namun
dalam bukunya “
Falsafah Siti Jenar”, dia mengatakan tidak
terlalu dekat maupun akrab, bahkan pengetahuannya tentang Sarekat
Abangan bukan dari Mangunatmaja tetapi dari beberapa keluarga yang
bergabung ke Sarekat Abangan. Selama pertemuannya dengan pimpinan
Sarekat Abangan tersebut, tidak pernah membahas masalah Sarekat Abangan
maupun ajarannya. Topik pembicaraan selalu masalah “politik”, bukan
ilmu.
Tetapi setelah Bratakesawa pindah ke Yogyakarta tahun 1922, dan
bekerja di majalah “Panggugah”yang di bina oleh R.M. Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Beliau dikunjungi Mangunatmaja
sebanyak dua sampai tiga kali. Tetapi beliau tidak terpengaruh
sedikitpun dengan ajaran Sarekat Abangan yang saat itu membaur dengan SI
Merah. Ini bisa kita lihat dari cerita beliau pada saat mengetahui ada
pertemuan di daerah Gandalayu Yogyakarta, dirumah salah satu pemimpin
SI Merah sebanyak kurang lebih 25 orang. Ringkasnya demikian: “
Para hadirin semua, saya persilahkan melihat ini”, kata sang guru sambil menyalakan korek api, jres ; setelah menyala lalu di tiup mati pet. “
Cobalah anda merenungkan, nyala api dari korek api tadi dimana, terutama setelah ditiup.?
Sekarang
jangan ragu dan jangan pula percaya omongan orang lain yang
aneh-aneh……..ya ibarat nyala korek api itulah keadaan kehidupan manusia
itu.
Ketika belum dititahkan (lahir) seperti nyala korek api
yang belum dinyalakan. Setelah lahir ke dunia, ya seperti nyala korek
api yang dinyalakan tadi. Setelah mati ? ibarat nyala api setelah di
tiup angin … selesai”. Mereka
yang menerima wejangan itu itu nampak senang sekali. Namun Bratakesawa
tidak terpengaruh wejangan semacam itu. Ia hanya termenung, “
Apa mungkin para sarjana dan cendikiawan yang saling mengejar ilmu serta menyingkirkan diri dari perbuatan dosa itu bodoh-bodoh semua ?”.
[5]
Menurut cerita tersebut dapat kita simpulkan bahwa Bratakesawa belum
terpengaruh murid-murid Natarata maupun ajarannya. Sehingga pada saat
beliau menulis ulang Serat Siti Jenar dengan judul
Falsafah Siti Jenar yang
diterbitkan oleh yayasan Penerbit Joyoboyo, dapat kita jadi penafsiran
yang lebih obyektif di karenakan tingkat pemahaman Bratakesawa dengan
Natarata hampir sama yaitu masih berpegang teguh pada ajaran Islam. Ini
dipertegas juga oleh Hasanu Simon dalam bukunya Misteri Syekh Siti Jenar
yang mengatakan bahwa dalam buku Falsafah Siti Jenar, Bratakesawa
menunjukkan keteguhannya dalam mengimani Islam secara benar.
[6]
I’TIKAD BRATAKESAWA
Terkait banyaknya kesalahpahaman terhadap sosok dan i’tikad
pribadinya terkait substansi Serat “Kuntji Swarga” dan “Wirid I.T.M.I”,
sebenarnya Bratakesawa telah menyadarinya sejak awal. Pembaca
tulisan-tulisannya belum semuanya memiliki dasar pemikiran yang jelas.
Dalam bahasa Bratakesawa,
dereng sangu paham warni-warni ingkang minangka gegaraning panimbang (belum
memiliki bekal pemahaman terhadap bermacam-macam pemikiran sebagai
kerangka dalam mempertimbangkan). Sehingga sebagian pembaca ini
melakukan kekeliruan sebab hanya berpegang pada satu bentuk pemahaman
yang belum pernah diperbandingkan dengan pemahaman lainnya (
sisip sembiripun lajeng nisih, namung ngencengi salah satunggaling paham, ingkang dereng nate katanding-tanding).
[7] Adanya kesalahpahaman terhadap ajarannya inilah yang memotivasi Bratakesawa untuk menjelaskan i’tikad dirinya melalui Serat “
Bajanul Chaliq”
[8]sebagai seorang muslim yang berusaha memegang teguh iman.
[9]
Secara umum pemikiran Bratakesawa cenderung mudah untuk dilacak.
Mantan wartawan ini termasuk seorang penulis yang produktif menelurkan
sejumlah karya.
Serat Bajanul Chaliq (baca: bayanul
khaliq) merupakan salah satu buku yang mengungkapkan “keyakinan” Islam
dari Bratakesawa. Buku ini sengaja ditulis oleh Bratakesawa sebagai
bacaan pembanding terhadap
Serat Bajanullah (baca: bayanullah) karya Raden Pandji Natarata.
[10] Isi
dari Serat Bajanul Chaliq ini merupakan wujud tekadnya sebagai seorang
muslim yang beriman. Terungkap dalam Bajanul Chaliq sebagai berikut:
“Iktikad kula ingkang kula sumantakaken wonten ing Serat “Bajanul
Chaliq” punika boten sanes kajawi iktikad kula satunggaling tiyang
Islamingkang kasandhangan
iman.
Jalaran saking punika, sanajan ingkang kula sarasehaken punika
prakawisipun tiyang sajagad boten pilih agama, ananging pamanggih kula
punika migunakaken
wawaton ingkang dados cecepenganipun
muslim tuwin
mukmin.
[11]
(Iktikad yang saya bicarakan dalam Serat “Bajanul Chaliq” ini tidak lain adalah iktikad saya sebagai penganut
Islam yang memiliki
iman.
Oleh karena itu, walaupun apa yang saya bicarakan ini merupakan
permasalahan orang sedunia tanpa memandang agama, tetapi pendapat saya
tersebut menggunakan peraturan yang menjadi pedoman bagi
muslim dan
mukmin).
Bratakesawa menjelaskan bahwa muslim adalah orang yang memeluk Agama Islam atau Agama Nabi Muhammad (
muslim punika tegesipun tiyang ingkang ngrasuk agama Islam utawi agama Muhammad). Adapun pedoman (
paugeran) menjadi muslim, menurut Bratakesawa adalah dengan menjalankan Rukun Islam sebagai berikut:
[12]
- Ngucapaken kalimah sahadat: La ilaha illallah (ora ana sesembahan kajaba Allah),sldj. (= Mengucapkan kalimat syahadat: La ilaha illallah (Tiada sesembahan kecuali Allah), dan seterusnya).
- Nindakaken salat gangsal wekdal, tuwin sanes-sanesipun ingkang nama salat wajib (= Melaksanakan ibadah shalat wajib lima waktu, dan lain-lainnya yang dinamakan shalat wajib).
- Ambayar jakat miturut pranatan (= Membayar zakat menurut aturan)
- Nglampahi siyam sawulan saben wulan Ramelan (= melaksanakan ibadah siyam selama sebulan setiap bulan Ramadhan)
- Kesah Haji dateng Betullah, menawi kuwaos (= pergi haji ke Baitullah jika mampu).
Selanjutnya Bratakesawa menjelaskan bahwa mukmin adalah orang yang memiliki iman atau kepercayaan (
mukmin punika tegesipun tiyang ingkang kasandangan iman (kapercayaan)). Adapun rukun iman dijelaskan oleh Bratakesawa sebagai berikut:
[13]
- Percaya wontenipun Allah ingkang nitahaken langit-langit lan bumi saisinipun sadaya (= percaya adanya Allah yang memerintah langit-langit dan bumi seisinya)
- Percaya wontenipun malaekat-malaekating Allah (=percaya adanya malaikat-malaikat Allah)
- Percaya wontenipun kitab-kitabing Allah (=percaya adanya kitab-kitab Allah)
- Percaya wontenipun para rasul utusaning Allah (=percaya adanya para Rasul utusan Allah)
- Percaya wontenipun dinten kiyamat inggih dinten patangening roh-roh saking kubur (=percaya adanya hari kiyamat yaitu hari dibangkitkannya roh-roh dari kubur)
- Percaya wontenipun takdir awon lan takdir sae, tumrap satunggal-tunggaling titah (=percaya adanya takdir buruk dan takdir baik, bagi setiap makhluk)
Selanjutnya Bratakesawa menceritakan pengalaman pribadinya dalam menjalankan
Rukun Islam dan
Rukun Iman. Ia
telah melakukan upaya maksimal untuk menjalankan tuntunan agama yang
dianutnya. Meskipun demikian ia juga mengakui adanya “takdir” yang
membuat dirinya belum bisa melaksanakan ibadah haji. Hal ini diungkapkan
sebagai berikut:
Kula matur prasaja, pangriptanipun Serat “Bayanul Khaliq”
anggenipun ngaken muslim lan mukmin punika boten namung aken-aken utawi
lelamisan kemawon.
Istilahipun sapunika, Islam kula boten namung Islam “statistiek”
kemawon, sayektosipun ugi netepi rukun-rukunipun, kajawi kesah haji
ingkang dereng, amargi dereng kuwaos.
Iman kula ugi netepi rukun-rukunipun, malah percaya kula terus ing sanubari, boten namung tiru-tiru kemawon.
Dados saupami wonten saderek ingkang sanes muslim lan sanes
mukmin, kapareng maos serat “Bayanul Khaliq” punika, mugi sampun cuwa
ing penggalih, manawi boten cocog kaliyan iktikad kula.[14]
(Saya berkata jujur, pengarang Serat “Bayanul Khaliq” pengakuannya
sebagai muslim dan mukmin itu bukan hanya mengaku-aku atau pemerah bibir
belaka.
Istilah sekarang, keislaman saya bukan hanya Islam “statistik” saja,
sejatinya juga menetapi rukun-rukun, kecuali naik haji karena belum
mampu.
Iman saya juga menetapi rukun-rukunnya, malah percaya hingga dalam sanubari tidak sekedar meniru-niru belaka).
Tentang keyakinan hidupnya, Bratakesawa menceritakan proses dirinya
hingga mengenal Islam. Pengenalan terhadap Islam tersebut melalui proses
yang panjang. Pengalaman banyak berguru dan membaca buku telah menempa
pribadinya untuk lebih dekat terhadap ajaran Tauhid. Pada
sekitar
1920-an Bratakesawa telah banyak membaca buku-buku tentang kebatinan,
bahkan menjadi salah satu anggota Perhimpunan Theosofi dan menjadi
pendengar ceramah-ceramah para “gembong” theosof. Namun persentuhan
dengan ajaran kebatinan dan theosofi tidak mampu memuaskan “dunia batin”
dalam dirinya.
[15] Bratakesawa
tidak tanggung-tanggung, ia melakukan serangkaian kajian terhadap
sejumlah kitab suci agama lain sebelumnya. Hasil dari proses yang
demikian, mengantarkan Bratakesawa mantab memilih Islam.
Serat Bajanul Chaliq” mengungkapkan sebagai berikut:
“Kula punika waunipun tiyang Islam “statistiek” ingkang babar pisan
boten sinau dateng hukum lan rukuning agama Islam, dados boten wonten
bedanipun kaliyan tiyang ingkang boten gadhah agama. Anggen kula lajeng
ngantepi agama Islam, punika sareng sampun sepuh, sasampunipun tuwuk
anggen kula maguru-maguru, maos serat-serat wirid, suluk, falsafah lan
tashawwuf, punapa dene kitab-kitab agama warni-warni.
[16]
(Saya ini sebelumnya adalah penganut Islam “statistik” yang sama
sekali tidak mempelajari hukum dan rukun Islam, jadi tidak ada bedanya
dengan manusia yang tidak beragama. Adapun kemantapan saya terhadap
Islam, ini terjadi setelah usia tua, setelah kenyang berguru, membaca
kitab-kitab wirid, suluk, falsafah, dan tasawwuf, juga membaca
kitab-kitab dari bermacam-macam agama).
Al QURAN DAN OPINI KRISTEN
Dalam usahanya untuk menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa, tidak
jarang Bratakesawa melakukan perbandingan antara Al Quran dengan kitab
suci agama lain. Hal ini dimungkinkan karena sebelum memutuskan untuk
beragama dengan benar, guru orang Jawa ini telah mempelajari kitab suci
sejumlah agama. Dari pendalaman terhadap sejumlah kitab inilah, ia
kemudian mantab memilih Islam sebagai agama
ageman.
[17]
Dalam buku “
Wirid I. T. M. I. : Iman Tauhid Ma’rifat Islam”,
Bratakesawa telah berusaha menjelaskan tentang adanya sejumlah faham
yang berusaha menolak keberadaan Allah (Atheist). Bratakesawa juga
menjelaskan hakikat keyakinan kaum naturalist yaitu manusia yang
memiliki pemahaman bahwa penguasa tertinggi alam semesta hakikatnya
adalah
alam. Kedua paham ini, menurut Bratakesawa adalah pemahaman dari kaum yang
kafir yaitu
kaum yang tidak mendapatkan cahaya petunjuk. Secara gamblang
Bratakesawa memberikan keterangan bagaimana proses kekafiran kaum
naturalist terjadi. Menurutnya kekafiran kaum naturalist ini merupakan
bentuk penyimpangan pemikiran. Mereka berusaha mengungkap tentang
rahasia kehidupan maupun penciptaan, namun karena tidak mendapatkan
cahaya petunjuk maka proses pencarian tersebut hanya bersifat
“meraba-raba” dan berhenti pada proses memahami kenampakan luar dari
alam raya saja.
[18]
Bratakesawa menganggap bahwa kaum naturalist mungkin saja telah
mengakses Bibel terutama dalam kitab Genesis (Kejadian). Kitab yang
diakui sebagai Taurat oleh Yahudi dan Kristen ini menceritakan bagaimana
peran “Tuhan” dalam proses “penciptaan” alam semesta. Hanya saja,
menurut Bratakesawa, substansi kitab Kejadian tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai pegangan mencapai pengenalan terhadap Allah sebab
tidak mampu menunjukkan tentang sifat-sifat ketuhanan yang bisa
memuaskan mereka.
[19]
Terkait kitab-kitab selain Al Quran, guru Jawa ini berpandangan bahwa kitab-kitab tersebut, termasuk Bibel, hanya berwujud
babad yang
bercerita tentang sejarah Rasul, “pertemuan” dengan Tuhan, dan aspek
pewahyuan serta proses penyebaran ajarannya saja. Kitab-kitab tersebut
umumnya tidak memberikan informasi yang memadai tentang sifat-sifat
Tuhan, kecuali sebagai zat luar biasa yang tidak setiap hamba
mengetahui. Namun, menurut Bratakesawa, Tuhan dalam kitab-kitab tersebut
selalu digambarkan sebagai zat yang memiliki tubuh material,
sebagaimana halnya makhluk ciptaan. Hal ini diungkapkan Bratakesawa
sebagai berikut:
“Andene kitab-kitabe Allah kang sadurunge Qur’an iku, pancen,
isine pada awujud babad kang mung nyritakake sajarahe (asal-usule)
Rasul, lelampahane nalika “dipanggihi” Pangeran lan kaparingan dawuh
(wahyu), apadene lelampahane liya-liyane bab anggone nyiyarake agama.
Ora nyritakake bab sipat-sipating Pangeran, malah yen nyritakake
Pangeran iku kaya-kaya ana blegere, nanging bleger luar biasa, ora saben
wong weruh.”[20]
(Adapun kitab-kitab Allah sebelum Al Quran, memang, isinya berwujud
babad yang
hanya bercerita tentang sejarah (asal usul) Rasul, kisah ketika
“ditemui” Tuhan dan mendapatkan wahyu, juga kisah lainnya dalam
penyiaran agama. Tidak menceritakan tentang sifat-sifat Tuhan, malah
jika bercerita tentang Tuhan digambarkan seolah memiliki wujud material,
tetapi wujud luar biasa yang tidak setiap orang mengetahui).
Berbeda dengan Al Quran, kitab suci umat Islam ini, tidak berwujud
babadsebagaimana
kitab-kitab lainnya. Al Quran memuat perintah-perintah Allah kepada
Nabi Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada umatnya. Perintah-perintah
tersebut juga telah disertai dengan informasi mengenai sifat-sifat
Allah. Bratakesawa mengungkap hal tersebut sebagai berikut:
“
Hla Qur’an ora babad kaya mangkono iku. Sawutuhe Qur’an kang
kandele 30 juz utawa 114 surat (bab) iku mligi ngemot dawuh-dawuhing
Pangeran kang ditampa dening Nabi Muhammad s.a.w. Dawuh-dawuh mau akeh
banget kang sinartan katrangan bab sipat-sipating Pangeran, antarane
kaya kang wis tak aturake kae: (1) tan pisah klawan sira lan pirsa
samubarang tindakira (2) nguningani sajroning atinira (3) luwih cedak
tinimbang otot bebayunira (4) lan liya-liyane kang surasane sairib
mengkono.”
(“Hla Qur’an bukanlah babad seperti itu. Seutuhnya Qur’an setebal 30
juz atau 114 surat (bab) itu memuat perintah-perintah Allah yang
diterima oleh Nabi Muhammad s.a.w. Perintah-perintah itu banyak sekali
disertai dengan keterangan mengenai sifat-sifat Allah, antara lain
seperti sudah kukatakan : (1) tidak berpisah dari dirimu dan mengetahui
semua perbuatanmu (2) mengetahui isi hatimu (3) lebih dekat dari pada
urat lehermu (kata yang dipakai “otot bebayunira” = “saluran napas
kamu”) (4) dan lain-lain yang isinya serupa.”)
Tulisan Bratakesawa yang mengutip ayat Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, untuk ”meluruskan” gagasannya, rupanya juga membuka ruang untuk
disalahpahami. Dalam ”
Serat Kuntji Swarga”
[21] misalnya,
Bratakesawa menggunakan kitab Kejadian dan Yohanes untuk mendukung
konsepsinya tentang manifestasi ”citra” Allah. Bambang Noorsena menilai
bahwa pandangan Bratakesawa tentang Yesus sebagai Putra Allah dalam
hubungannya dengan Sang Bapa sudah sesuai dengan pewartaan Injil. Kata
”putra” disana tidak bermakna
letterlijk atau harfiah,
melainkan simbolis yang serupa dengan bayangan. Hal ini dapat dilihat
dalam karya Bratakesawa yang dikutip oleh Bambang Noorsena sebagai
berikut:
Kitab Toret (Turat) nyebutake: Allah banjur nitahake manungsa nulad
citra-Ne, enggone nitahake kang tinulak citra-Ne Allah, pada katitahake
lanang lan wadon” (Purwaning Dumadi 1 : 27).
Ing Injil nyebutke: ” Ora ana wong kang marek marang Sang Rama menawa
ora metu ing Aku. Menawa kowe pada wanuh marang Aku, mesthi iya padha
wanuh marang Rama-Ku” (Yokanan 14: 6,7). Wong Kang wus ndeleng sang
Rama, lan Sang Rama ana ing aku ?” (Yokanan 14: 9, 10). Coba rasakna.
Kang ditembungake manungsa nulad citra-Ne Allah ing Kitab Toret iku rak
iyo kang tak umpamaake wewayangane srengenge karo srengenge, ta? Lha
kang sinebut Sang Putra karo Sang Rama ing Kitab Injil mau rak iyo iku,
ta?
Ewadene ing Qur’an perlu nerangake
Lam yalid wa Lam Yulad (al-Ikhlas 3 : ”Ora peputra lan ora diputraake”).
An da’au lir rahmani waladan wa maajanbaghi lir rahmani an jattachidza waladan (Maryam
91,92: ”Deweke pada kanda yen Pangeran iku kagungan putra, lha pangeran
kagungan putra iku ora patut), jalaran ana wong-wong kang nekadake yen
tembung ”putra” iku ateges letterlijk, dudu symbolisci kang pepindane
wewayangan.
Terjemahan:
Kitab taurat menyebutkan: ”Maka Allah menciptakan manusia sesuai
dengan citra diri-Nya, menurut citra Allah diciptakan-Nya laki-laki dan
perempuan” (Kejadian 1: 27). Dalam Injil disebutkan: ”Tidak ada seorang
pun yang datang kepada sang Bapa, kalau tidak melalui Aku. Apabila kamu
mengenal Aku, pasti pula kamu mengenal Sang Bapa (Yoh. 14: 6,7).
”Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat sang Bapa, tidak
percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku?” (Yoh.
14: 9,10). Cobalah rasakan, yang dikalimatkan manusia sebagai citra
Tuhan dalam Kitab Taurat itu, bukankah sama dengan yang kuumpamakan
bayangan matahari dengan matahari? Dan bukankah yang disebut Sang Putera
dan Sang Bapa dalam Kitab Injil juga sama dengan itu? Akan tetapi,
Alquran perlu enjelaskan
Lam Yalid walam Yulad (al-Ikhlas 3: ”Tidak beranak dan tidak diperanakkan”).
An da’au li’rahmani waladan wa maajanbaghi lir rahman an jattachidza waladan (Maryam
91:92: ”Mereka mengatakan mempunyai putera, sedangkan mengatakan Tuhan
berputera itu tidak patut”). Disebabkan ada orag-orang yang mengartikan
kata ”putera” itu secara harfiah, bukan dalam arti simbolis yang
diibaratkan bayangan. (sic!)
[22]
Dalam menilai kutipan di atas Bambang Noorsena memberikan catatan
bahwa meskipun pelukisan Bratakesawa tidak jauh berbeda dengan apa yang
diwartakan Injil, namun terdapat perbedaan yang tidak dapat dianggap
kecil. Menurut Noorsena, walaupun menggunakan sebutan yang sama, istilah
Putera Allah dalam hubungannya dengan sang Bapa dalam Kuntji Swarga
dimaksud untuk membenarkan pandangan bahwa
Purusha sebagai
individueele God dan
Isywarasebagai
algemeene God. Bratakesawa mengibaratkan keduanya sebagai matahari dan bayangannya, Allah dengan citranya atau Tuhan dengan putera.
[23] Selanjutnya,
Bambang Noorsena menempatkan bahwa posisi Bratakesawa seolah-olah
berusaha menjelaskan bahwa umat Islam telah salah paham terhadap
pengertian ”putera Allah” yang selama ini dimaknai secara harfiah dan
fisikal. Hal tersebut diungkapkan oleh Bambang Noorsena sebagai berikut:
”Selanjutnya, kendati kita mendapatkan seraut wajah yang serba
remang-remang dan penuh tanda tanya, namun berkat tradisi dan budaya
Jawa yang luhur dan tinggi pesan Injil lebih mampu ditangkap dan
diterjemahkan sesuai dengan polanya sendiri. Pernyataan ini dikemukakan
khususnya dengan mengambil perbandingan dengan agama Islam.
Misalnya, mengenai gelar Putera Allah. Harus ditekankan bahwa yang
dihadapi oleh Serat Centhini, R. Ng. Ranggawarsita, Bratakesawa, atau
Raden Soenarto bukan masyarakat penyembah patung seperti dijumpai Nabi
Muhammad. Karena itu tidak pernah ada kekhawatiran bahwa penggunaan
istilah Putera Allah akan diterima secara harfiah dan fisik, seperti
pertentangan kasar
Lam Yalid wa lam Yulad. Alasannya,
”Bagaimanakah Allah beranak, sedangkan Dia tidak beristri? (Qur’an,
surah al-An’am 101). Bahkan untuk kesalahpahaman itu, Serat
Darmagandhul, Pakde Narto, dan Bratakesawa merasa perlu untuk
menjelaskan kepada umat Islam yang belum mengerti.”
[24]
Tulisan Bambang Noorsena tersebut seolah memberi peluang bagi pembaca
untuk menafsirkan secara beragam. Kalimat-kalimat yang ditampilkannya
memiliki kesan ambigu. Pada satu bagian seolah-olah menggambarkan bahwa
manusia Jawa yang memiliki tradisi dan budaya luhur nyatanya lebih mampu
menangkap esensi putra Allah dalam kekristenan, dibandingkan ajaran
Islam. Penggunaan gelar putera Allah dalam Islam , menurut pandangan
ini, seringkali dihubungkan dengan hal yang bersifat fisik dan harfiah.
Jika yang dimaksudkan oleh Bambang Noorsena adalah hendak menyalahkan
pandangan Islam, maka hal itu justru merupakan sebuah peletakan batu
bagi monumen ketidakpahaman.
Kritik Islam terhadap paham ”Allah beranak” bukan hanya mencakup
terhadap pemahaman yang bersifat alegoris atau simbolis belaka, namun
memang menyangkut pada wilayah yang bersifat fisik dan harfiah. Dalam
gambaran masyarakat jahiliyah Arab, Allah telah digambarkan memiliki
beberapa putri dalam makna yang bersifat fisik. Penyembahan terhadap
berhala hakikatnya mewakili konsep penyembahan terhadap Allah melalui
perantara putri-putri Allah yang telah dimanifestasikan dalam wujud
patung. Salah satu fungsi Al Quran adalah mengkritik pemahaman yang
bersifat demikian dan meluruskan ajarannya untuk kembali kepada ajaran
azasi
millah Ibrahim, yang menyembah Allah sebagai zat yang maha tanpa mempersamakannya dengan makhluk yang memiliki wujud material.
Nama Bratakesawa yang dicatut oleh Bambang Noorsena sebagai salah
satu tokoh yang hendak menjelaskan hakikat putera Allah ”kepada umat
Islam yang belum mengerti” sebenarnya justru melakukan kritik secara
tersirat terhadap ajaran kekristenan. Nampaknya, Bambang Noorsena justru
kurang mampu menangkap esensi dari Serat Kunci Swarga ketika melakukan
pengutipan terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Terbukti,
Noorsena justru hanya menekankan bahwa Bratakesawa menggunakan ungkapan
simbolis ”Matahari dan bayangan” dalam menggambarkan ”Allah dan Putera”
sebagai wujud pembenaran teori
Individueele God dan
Algemeene God. Terkait konsep yang terakhir ini masih dapat diperdebatkan, namun esensinya jauh melampaui wilayah tersebut.
Hal tersebut dapat dicermati pada pengertian yang hendak dibangun Bratakesawa terkait dengan hubungan antara
titah dengan
khaliq,
termasuk posisi simbolis antara Matahari dan bayangannya. Sebagaimana
diungkapkan Bratakesawa dalam Kunci Swarga sebagai berikut:
”Paham loro iku mau mungguhing aku: pada benere. Sebabe sulaya, ora
liya jalaran ora padha dirasakake disik : endi ta kang diarani
titah utawa
makhluq ana ing soal kang dirembug iku ?
Yen kang diarani makhluq ana ing wedaran kono iku barang kang mawa
wangun – kasara utawa alusa, – mula bener kang anekadake yen makhluq
karo khaliq iku loro, ora siji lan ora bisa nunggal, jer khaliq iku
tanpa wangun, dudu jisim dudu jirim, tan kena kinya ngapa.
Dene yen kang diarani makhluq ing kono iku
Wewayanganing Srengenge
mungguhing si jembangan isi banyu, rak iyo bener kang anekadake yen
makhluq karo khaliq iku: siji, ta? Rak iya ora kliru yen makhluq iku
bisa nunggal karo khaliq, ta? Kepriye, apa kurang cetha keteranganku
iki?”
[25]
Terjemahan:
Dua paham itu tadi menurutku: sama benar. Penyebab terjadinya
perbedaan, tidak lain adalah tidak dirasakan dahulu: mana yang dinamakan
makhluk dalam persoalan yang sedang dibicarakan itu?
Jika yang dinamakan makhluk dalam pembicaraan itu adalah barang yang
memiliki bentuk – kasar atau pun halus – maka benar yang beranggapan
bahwa makhluq dan khaliq adalah dua, bukan satu dan tidak bisa menyatu,
sebab khaliq itu tanpa bentuk, bukan jisim dan bukan jirim, tidak dapat
dipersamakan dengan sesuatu pun.
Ada pun jika yang dinamakan makhluk di situ adalah bayangan Matahari
dalam bejana berisi air, bukankah benar yang beraggapan bahwa makhluq
dan khaliq itu satu, kan? Bukankah tidak keliru jika makhluk itu bisa
menyatu dengan khaliq, kan? Bagaimana, apa kurang jelas keteranganku
ini?
Dari keterangan di atas Bratakesawa coba membenarkan dua konsep
pandangan sekaligus yaitu bahwa makhluk – khaliq tidak bisa menyatu dan
dipihak lain, makhluk-khalik bisa menyatu. Menurut pandangan Bratakesawa
kedua pandangan yang seolah kontradiktif tersebut pada dasarnya tidak
saling bertentangan dan tidak perlu menjadi sumber pertentangan. Hal itu
akan terjadi jika pengertian makhluk dalam masing-masing konsep
diuraikan secara definitif. Ketika makhluk didefinisikan sebagai wujud
material maka ia tidak akan dapat bersatu dengan khaliq yang immaterial.
Sedangkan pengertian dari konsep kedua lebih menekankan makhluk sebagai
wujud immaterial yang dicontohkan sebagai bayangan matahari dalam
jembangan berisi air.
Definisi yang kedua dalam karya Bratakesawa ini sesungguhnya
merupakan kritik terhadap konsep persatuan Tuhan dan Manusia dalam
kepribadian Yesus. Meskipun pada tingkatan tertentu makhluk dapat
menyatu dengan citra khaliq sebagaimana menyatunya bayangan matahari
dalam bejana berisi air, namun bayangan matahari tersebut tetap tidak
dapat disebut sebagai matahari. Demikian juga meskipun manusia Yesus
memiliki citra yang berasal dari Allah, namun Yesus tetap tidak dapat
dinamakan Allah. Sebab Yesus hanya menjadi reflektor bagi citra Allah
dan memang bukan Allah itu sendiri. Lebih lanjut, Raden Bratakesawa
memberikan keterangan bahwa penyatuan antara makhluk dan khalik jangan
disamakan dengan ”Mudadama dapat melihat kepada Wredatama”, namun
seperti keyakinan ”
kaya ngertimu marang dina Ngahad. Anggonmu percaya sebab kantor-kantor pada tutup, sarta dina Jumuwah wis kupungkur let sedina”
[26] (Seperti
pengertianmu terhadap Hari Ahad, engkau percaya bahwa pada hari itu
banyak kantor-kantor yang tutup, serta Hari Jumat sudah berjarak satu
hari sebelumnya).
Pandangan Bratakesawa yang menggunakan perumpamaan matahari dan
bayangan matahari dalam bejana air ini memiliki kemiripan dengan
pemikiran Al Ghazali yang tertuang dalam
Ihya’ Ulumuddin. Al Ghazali menerangkan bahwa keberadaan Tuhan sebenarnya bersifat
ngegla (terang
benderang). Hal ini diungkapkan dengan menggunakan tamsil atau analogi
bahwa Tuhan adalah seperti halnya matahari. Sedangkan manusia
ditamsilkan sebagaimana halnya kelelawar. Selama kehidupannya kelelawar
tidak mampu melihat matahari karena inderanya sangat lemah. Cahaya
Allah, menurut Al Ghazali, yang dianalogikan seperti matahari itu
teramat terang, sementara indera manusia tidak mampu menangkapnya.
Manusia akan bisa menangkap cahaya Allah dengan menggunakan mata hati.
Hati atau qalbu oleh Al Ghazali diibaratkan dengan cermin (
mir’ah). Jika cermin ini dibersihkan dari kotoran duniawi maka manusia akan bisa melihat citra Allah melalui cermin hatinya.
[27] Melalui
pandangan ini dapat diungkapkan bahwa bayang-bayang (citra) Tuhan
bersifat immanen dalam kalbu manusia, maka syarat untuk melihat Tuhan
adalah dengan pensucian hati dan mawas diri. Sementara Tuhan itu sendiri
tetap
transcendent, mengatasi alam semesta.
KLAIM KEBATINAN
Telah diungkapkan sebelumnya beberapa akademisi Kristen berusaha
mengetengahkan bukti bahwa ajaran Bratakesawa menunjukkan rasa
“simpatik” dan tidak bertentangan dengan kekristenan. Pandangan ini
dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa Bratakesawa merupakan tokoh
kebatinan, sebuah entitas yang ditempatkan berada di luar Islam. Dengan
kata lain penempatan Bratakesawa sebagai tokoh kebatinan ini secara
serta merta akan menempatkan sosoknya pada posisi kontra Islam. Meskipun
pandangan ini berusaha mengetengahkan “bukti-bukti”, namun agaknya
belum mampu memotret secara utuh makna sebenarnya dari “kebatinan”.
Tidak mengherankan jika produk dari diskursus ini akhirnya bersifat
bias. Meskipun demikian, definisi-definisi tentang kebatinan hingga saat
ini juga masih belum menemukan satu formula pengertian yang memuaskan.
Badan Kongres Kebatinan Indonesia II tahun 1956 di Surakarta merumuskan bahwa arti “
kebatinan” adalah “
sumber azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup”.
[28] Prof.
Dr. H.M. Rasjidi, seorang akademisi muslim yang pernah menjabat sebagai
Menteri Agama RI pertama, mengungkapkan kritik bahwa pengertian
kebatinan tersebut adalah wujud definisi yang terbalik. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan sila yang penting, sebab Tuhan Yang Maha Esa
inilah yang menciptakan alam dan manusia. Ia menciptakan segala wujud,
alam ghaib, dan nilai-nilai. Dalam pandangan ini Tuhan Yang Maha Esa
menjadi sumber dari segala sesuatu, termasuk menjadi sumber bagi
kebatinan. Oleh karenanya, bukan kebatinan yang menjadi sumber Ketuhanan
Yang Maha Esa, sebagaimana definisi BKKI tersebut. Melainkan Ketuhanan
Yang Maha Esa-lah yang menjadi sumber kebatinan.
[29] Meskipun demikian pengertian “kebatinan” dalam definisi ini tetap belum memberikan batasan yang mencukupi.
Bratakesawa tokoh yang “tertuduh” sebagai tokoh kebatinan, juga
memiliki definisi sendiri tentang makna “kebatinan”. Ia mendefinisikan
kebatinan merupakan “semua pengetahuan yang bukan permasalahan lahir.”
Masuk dalam definisi kebatinan adalah sejumlah
aji-ajian dan ilmu ghaib. Dalam pengertian ini, Bratakesawa menganggap bahwa
ilmu Ketuhanan merupakan ilmu yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari ilmu kebatinan. Hal ini diungkapkan Bratakesawa sebagai berikut:
“
Kabatinan” iku luguning tegese: sakabehing kawruh kang dudu
babagan lahir. Dadi: sawernaning aji-aji lan kaluwihan iku kalebu kawruh
kabatinan kabeh. Hla iku pancen ora kalebu kawruh ka-Allahan.
[30]
Terjemahan:
(Kebatinan itu secara sederhana maksudnya semua pengetahuan yang
bukan permasalahan lahir. Jadi, sejumlah aji-aji dan kelebihan (yang
bersifat ghaib) itu semua termasuk pengetahuan kebatinan. Hla hal itu
memang tidak termasuk pengetahuan ke-Allahan.)
Untuk membedakan antara ilmu kebatinan dan ilmu Ketuhanan
(ke-Allahan), Bratakesawa memberikan definisi bahwa ilmu ketuhanan
adalah pengetahuan yang menerangkan tentang zat, sifat, asma’ dan af’al
Allah. Makna ini bisa diperluas dengan menambahkan cara atau metode yang
dilakukan manusia untuk berbakti kepada Allah, baik secara lahir maupun
batin yaitu dengan menjalani syari’at, Tarikat, Hakikat, dan Ma’rifat.
(“
Ka-Allahan” tembunge Indonesia ke-Tuhanan, iku kawruh kang
nerangake bab Dat, Sipat, Asma, lan Apngaling Pangeran. Kena dijembarake
maneh: uga bab carane ngabekti marang Allah, lahir lan batin, iya
Sarengat, Tarekat, Kakekat, lan Makripat iku mau).
[31]
Dengan mencermati pengertian “kebatinan” yang dicetuskan oleh
Bratakesawa, maka secara kokoh “guru orang Jawa” ini sebenarnya telah
mengokohkan dirinya bukan sebagai tokoh kebatinan. Buku-buku karyanya
secara umum menunjukkan adanya muatan ilmu Ke-Allahan, sesuatu yang
dimaksudkan berada di luar ilmu Kebatinan menurut pengertian
Bratakesawa.
Bahkan tulisan Bratakesawa “Kuntji Swarga” merupakan jawaban atas
munculnya berbagai aliran kebatinan yang memiliki iktikad menyimpang.
Munculnya aliran kebatinan semacam ini, menurut Bratakesawa, menciderai
ajaran agama yang telah disiarkan para Rasul. Tumbuhnya aliran kebatinan
yang saling berjibaku dan terlibat konflik menjadi akar makin
melemahnya bangsa, dan pada giliran selanjutnya merugikan masyarakat dan
negara. Oleh karena itu, kehadiran “Kuntji Swarga” adalah sebagai
sarana menyebarkan iktikad tentang Allah berdasarkan dalil
naqli (Al Quran dan Hadits) dan dalil Aqli (menurut akal pikiran).
[32]
Metodologi penalaran induktif yang digunakan oleh Harun Hadiwijono
untuk menemukan makna “kebatinan” dan karakteristiknya, akan sulit
menemukan sebuah konklusi yang tepat. Proposisi-proposisi yang digunakan
oleh Harun untuk mencapai sebuah “konklusi”ternyata tidak semuanya
merupakan entitas yang memiliki hubungan dengan “kebatinan”. Buku
“Kebatinan dan Injil” karyanya menggunakan lima buah proposisi yang
dianggap representasi dari kebatinan antara lain Paguyuban Sumarah,
Sapta Darma, ajaran Bratakesawa, Pangestu, dan ajaran Paryana
Suryadipura untuk bisa menghasilkan definisi kebatinan beserta
karakteristik mendasarnya. Namun demikian telah dijelaskan sebelumnya
Bratakesawa, hanya merupakan salah satu contoh tokoh yang “dianggap”
kebatinan belaka. Sementara ia seharusnya tidak dimasukkan ke dalam
kelompok ini.
Tokoh lain yang perlu dicermati adalah dokter Paryana Suryadipura.
Dokter ini oleh Harun Hadiwijono juga dikategorikan sebagai salah satu
tokoh kebatinan, entitas yang dianggap berada di luar Islam. Harun
Hadiwijono mengungkapkan bahwa dr. Paryana Suryadipura bermaksud
menganalisa proses pikiran dengan menggunakan salah satu metode yaitu
menggunakan
patokan agama. Patokan agama yang dimaksud oleh Paryana Suryadipura menurut Harun Hadiwijono adalah “ilmu kebatinan”.
[33]
Pandangan Paryana Suryadipura sebenarnya menekankan adanya 2 (dua)
dimensi dalam agama yaitu ilmu lahir dan ilmu gaib (mistik). Ilmu yang
bersifat lahir yaitu patokan-patokan agama yang ada dalam kitab suci
masing-masing. Dengan cara menjalankan syariat agama dengan baik atau
dengan kata lain memperkuat dimensi lahir dari agama, maka tenaga
batinnya akan timbul dengan sendirinya. Seseorang tidak akan dapat
memperoleh kekuatan batin, apabila tidak mengenal dan menjalankan
praktik agama yang dianut dengan sebaik-baiknya. Paryana Suryadipura
menyebut proses timbulnya tenaga atau ilmu batin yang muncul dengan
menjalankan syariat agama sebagai akibat dari hukum
automatisme.
[34] Oleh
karena itu penilaian Harun Hadiwijana yang menempatkan bahwa metode
“patokan agama” yang digunakan oleh Paryana Suryadipura adalah “ilmu
kebatinan”, merupakan gagasan yang kurang tepat.
Paryana Suryadipura mengusulkan adanya penempatan posisi dan relasi
yang tepat antara entitas agama dan kebatinan. Ia menyesalkan munculnya
praktik dimana “ilmu kebatinan” dijadikan sebagai substitusi agama.
Kebatinan seharusnya sekedar menjadi aliran yang berusaha memperdalam
pengetahuan tentang filsafat dan secara ideal bernaung di bawah syari’at
agama. Para penghayat kebatinan yang mengabaikan syara’ atau bahkan
menginjak-injaknya dianggap mewarisi semangat era penjajahan dan sifat
mereka itu bersifat paradoks belaka. Usaha menempuh dunia batin dengan
mengabaikan syariat agama adalah upaya yang sia-sia, membuang waktu dan
tenaga saja. Para pemimpin kebatinan yang percaya kepada Tuhan yang Maha
Esa, namun menciptakan sendiri aturan peribadatannya, tanpa mengikuti
syara’dianggap telah mengabdi pada kesesatan. Diibaratkan seperti “
menjilat sambil meludah” yaitu mencoba mencari kesejatian Allah namun pada saat yang sama mengingkari perintah-Nya.
[35] Pada bagian lain, Paryana Suryadipura menunjukkan pendiriannya yang tegas dalam berpegang kepada syariat agama sebagai berikut:
“Aturan-aturan menurut
sara’ adalah lengkap, karena suara
yang mengandung amanat berisi sara’ diterima melalui antenne (para Nabi)
yang tertinggi, hingga suara itu terdengar semua (tidak ada
feeding), jelas, dan suci (tidak dinodai oleh suara yang mengganggu = tidak ada
storing).
Mungkin tidak ada dosa yang lebih besar dari pada MENJILAT SAMBIL
MELUDAH tadi, oleh karena yang dijilat sambil diludahi disini adalah
Tuhan sendiri. Didalam Hadits disebut: “Siapa yang mengada-adakan sara’,
kufurlah ia”.
[36]
Kesalahan Harun Hadiwijono dalam menetukan proposisi ini, baik dalam
kasus penempatan Bratakesawa maupun Paryana Suryadipura sebagai tokoh
kebatinan, jelas berakibat fatal. Seperti menciptakan sebuah bangunan
argumentasi dengan menggunakan “batu bata” yang masih mentah. Bangunan
itu bisa saja berhasil didirikan, namun tentu diikuti dengan timbulnya
sejumlah kelemahan yang menjadi konsekuensi logis dari pemilihan bahan
tersebut.
DAI YANG LUAR BIASA
Salah paham terhadap kepribadian Raden Bratakesawa memang sering
terjadi di kalangan para penulis. Beberapa diantaranya menempatkan
Bratakesawa sebagai sosok kebatinan Jawa. Apalagi jika terdapat sejumlah
sumber dari pihak Kristen yang justru mendukung teori yang keliru
tersebut.
Tindakan manipulatif kalangan Kristen ini nampaknya bukan sekedar
kesalahpahaman atau kekeliruan. Tetapi merupakan suatu model “perilaku
akademis” yang sengaja dipraktikkan. Azyumardi Azra, sejarawan,
menempatkan Harun Hadiwijono sebagai salah satu akademisi Kristen yang
mempraktikkan strategi dikotomi dan pemisahan oposisional antara Islam
dengan kebudayaan Jawa. Diantaranya dengan mensimplifikasi sikap
keagamaan masyarakat Jawa sebagai “Kebatinan” (Kejawen). Tujuannya
adalah mereduksi dan mengaburkan pengaruh Islam dalam sikap keagamaan
itu atau bahkan dalam lapangan kebudayaan yang lebih luas. Bisa ditebak,
wajah Islam di Jawa diusahakan semakin memudar dan tersedia peluang
lebih besar bagi keberhasilan misionaris.
[37]
Padahal makna ”kebatinan” itu sendiri pada dasarnya masih debatable,
apalagi jika harus memasukkan ajaran Bratakesawa sebagai salah satu
variannya. Hal yang paling nampak dari karya-karya Bratakesawa
menunjukkan bahwa ia merupakan sosok yang mencoba mempertahankan dan
menempuh jalur ”orthodoksi” Islam. Ia merupakan salah satu anggota
Persyarikatan Muhammadiyah yang secara bertepatan memiliki ”kesenangan”
untuk mengkaji tentang masalah budaya Jawa. Namun demikian
karya-karyanya tidak jarang menampakkan wajah paham ”Asy’ariyah” yang
pada masanya menjadi salah satu ciri khas dari pemikiran kalam dalam
Nahdhatul Ulama (NU). Juga karya-karyanya yang mencoba membedah sejumlah
produk budaya Jawa dan Islam seperti
almanak[38], pengetahuan tentang
Candra Sengkala[39], perhitungan selamatan orang mati
[40], dan lain sebagainya. Dengan demikian, Raden Bratakesawa memang merupakan sosok yang unik dan sekaligus menarik.
Penulis: SusiyantoPeneliti di Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com
FOOTNOTE:
[1] Tulisan Imam Supardi yang dimaksud merupakan sebuah prakata dari buku ”
Kuntji Swarga” cetakan keenam karya Bratakesawa. Lihat Dr. Harun Hadiwijono.
Kebatinan dan Injil. Cetakan IX. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006). Hal. 43
[2] Bambang Noorsena.
Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen. Cetakan II. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007). Hal. 77-79
[3] Lihat Susiyanto.
Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa. (Cakra Lintas Media, Jakarta, 2010). Hal. 247-250
[4] Perkiraan
ini didasarkan pada cerita Bratakesawa saat bertemu guru Sarekat
Abangan yaitu Mangunatmojo, dia mengaku umur 23 tahun. Sedang
bratakesawa ditugaskan di Klaten sebagai sekretaris Insulide Surakarta
sekitar 1921.
[5] Moh Hari Suwarno.
Syekh Siti Jenar. (PT.Antar Surya Jaya,tanpa kota tanpa tahun). Hal.20
[6] Prof. Dr. Hasanu Simon.
Misteri Syekh Siti Jenar. (Pustaka Pelajar,Yogyakarta;2008). Hal.380
[7] Bratakesawa.
Serat Bajanul Chaliq: Ngewrat Wedaran Bab Ingkang Sinebut Al-Chaliq utawi Allah. Cetakan III. (Kulawarga Bratakesawa, Yogyakarta, 1958). Hal. 3-4
[8] Raden
Bratakesawa menjelaskan bahwa motivasi penulisan buku “Serat Bajanul
Chaliq” disebabkan bahwa masyarakat pembaca “Serat Kuntji Swarga” dan
“Wirid I.T.M.I” banyak yang berasal dari kalangan awam yang belum
memiliki pemahaman mendasar untuk mengakses kedua kitab tersebut. Juga
sebagai bacaan pembanding atas terbitnya karya Raden Panji Natarata,
baik
Falsafah Sitidjenarmaupun
Serat Bayanullah. Serat
Bajanul Chaliq merupakan kitab yang menjelaskan pandangan dan jati diri Bratakesawa sebagai seorang muslim. Lihat Bratakesawa.
Serat Bajanul Chaliq … Ibid. Hal. 3-4
[9] Lihat Bratakesawa.
Serat Bajanul Chaliq … Ibid. Hal. 7
[10] Raden
Pandji Natarata (hidup sekitar tahun 1810-1890) pernah menjabat sebagai
kepala distrik Ngijon, Yogyakarta. Sebelumnya ia bernama Raden
Sasrawidjaja dan pernah mengampu pelajaran Bahasa Jawa di sebuah sekolah
guru di Surakarta. Serat Bayanullah merupakan karya Raden Panji
Natarata yang membahas tentang sejumlah aliran menyimpang yang
bertentangan dengan Islam dan pernah berkembang di Jawa. Dalam karya ini
Raden Panji Natarata berusaha menjelaskan dan menyanggah terhadap
penyimpangan yang terjadi pada aliran-aliran yang ada. Bratakesawa, yang
pada masa selanjutnya berperan dalam mengedit dan menerbitkan karya
yang sebelumnya merupakan tulisan tangan tersebut, menyatakan bahwa
Serat Bayanullah sebelumnya pernah di muat di Almanak H. Buning, sekitar
tahun 1910-an. Lihat Bratakesawa (ed.).
Serat Bayanullah: Anggitanipun swargi Raden Pandji Natarata. (Y.P. Jaya Baya, Surabaya, 1975). Hal. 1-4
[11] Bratakesawa.
Serat Bajanul Chaliq: Ngewrat Wedharan Bab Ingkang Sinebut Al-Chaliq utawi Allah.
Cetakan III. (Kulawarga Bratakesawa, Yogyakarta, 1958). Hal. 7. Garis
bawah (underline) pada sejumlah kata berasal dari naskah aslinya, namun
ejaan dalam pengutipan ini telah disesuaikan dengan ejaan yang saat ini
berlaku.
[12] Bratakesawa.
Serat Bajanul Chaliq … Hal. 8
[13] Bratakesawa.
Serat Bajanul Chaliq … Hal. 8
[14] Bratakesawa.
Serat Bajanul Chaliq … Hal. 8-9
[15] Lihat Bratakesawa.
Falsafah
Sitidjenar: Ngewrat Pangrembag Paham Wahdatul-Wudjud (Pantheisme) ing
Tanah Jawi, Ingkang Menggok Dados Paham Ngaken Allah Tuwin Ngorakaken
Wontenipun Ingkang Nitahaken (Atheisme). Cetakan VI. (Jajasan Penerbitan “Djojobojo”, Surabaya, tth). Hal. 10
[16] Bratakesawa.
Serat Bajanul Chaliq ...
Opcit. Hal. 9
[17] Lihat pengakuan Bratakesawa.
Serat Bajanul Chaliq ...
Opcit. Hal. 9
[18] Bratakesawa.
Wirid I. T. M. I: Iman Tauhid Ma’rifat Islam Jaiku Bapa-Babuning Kabeh Wirid Kang Adedasar Falsafah Islam. Cetakan V. (Jajasan Penerbitan “Djajabaya”, Surabaya, tth). Hal. 22
[19] Bratakesawa.
Wirid I.T.M.I. … Hal. 22
[20] Bratakesawa.
Wirid I. T. M.I … Hal. 23
[21] Buku
Kunci Swarga merupakan
karya dari Raden Bratakesawa yang dirancang untuk menerangkan sejumlah
pokok-pokok keyakinan Agama Islam. Penyampaian isi bukunya dilakukan
dengan metode dialogis yang melibatkan dua orang karakter, pertama
bernama
Wredatama, yaitu seorang yang berusia lebih tua dan mumpuni dalam ilmu keagamaan dan kedua,
Mudadama yaitu seorang yang lebih muda yang berusaha untuk mencari dan mengkaji ilmu tentang
kasunyatan. Diceritakan bahwa Mudadama telah berguru kepada sejumlah guru
ngelmu dan
kebatinan serta membaca sejumlah buku-buku yang terkait, namun bukannya
menemukan pencerahan justru ia menuai kebingungan sebab ajaran
masing-masing guru dan keterangan dari setiap buku bacaannya tidak
memiliki kesamaan, bahkan beberapa bertentangan. Maka maksud kedatangan
Mudadama kepada Wredatama adalah meminta sang ”tetua” mengurai kerumitan
akibat kajian ngelmu yang telah diperolehnya. Selanjutnya terjadi
percakapan diantara kedua terus berlangsung hingga menyangkut
masalah-masalah yang lebih mendalam dalam ajaran Islam. Menariknya, buku
karya Raden Bratakesawa disusun dengan bahasa yang umumnya mudah
dipahami dengan melibatkan emosi persaudaraan antara kedua karakternya
dan disertai dengan contoh-contoh yang relevan dengan keseharian orang
Jawa, sehingga dengan demikian pembaca akan turut menilai alur
pembicaraan sebagai sebuah realitas yang selalu saja hadir disekeliling
pembaca. Meskipun memang dalam beberapa bagian terdapat pula
bahasa-bahasa yang meng”
awang” (melangit), namun gaya penceritaan yang selalu memberikan keterangan memadai akan menggugurkan kesulitan tersebut.
[22] Kutipan kitab kunci swarga dan terjemahannya berasal dari Bambang Noorsena.
Menyongsong … Opcit.
Hal. 78-79. Sebagai sebuah kutipan terdapat perbedaan dengan naskah
asli yang dikutip meskipun demikian tidak terlampau berarti kecuali
penulisan ”Maryam 91:92” dalam penterjemahan yang mungkin saja bisa
menimbulkan kesalah pahaman. Hal itu terjadi mungkin karena salah
pengetikan yang dilakukan Bambang Noorsena. Bandingkan Bratakesawa.
Kunci Swarga (miftahu’l jannati). Cetakan VIII. (Keluarga Brotokesawa, Yogyakarta, 1979). Hal. 56-57
[23] Bambang Noorsena.
Menyongsong … Ibid. Hal. 82
[24] Bambang Noorsena.
Menyongsong … Ibid. Hal. 87
[25] Bratakesawa.
Kunci Swarga … Opcit. Hal. 55-56
[26] Bratakesawa.
Kunci Swarga … Ibid. Hal. 49
[27] Lihat Simuh.
Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. (PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996). Hal. 169-170
[28] Lihat
Hasil Seminar Kebathinan Indonesia ke-I Jakarta. (Badan Kongres Kebathinan Indonesia, Jakarta, 1959). Hal. 139. Lihat juga Prof. Dr. H.M. Rasjidi.
Islam dan Kebatinan. (Jajasan Islam Studi Club Indonesia, Jakarta, 1967). Hal. 75
[29] Prof. Dr. H.M. Rasjidi.
Islam dan Kebatinan. (Jajasan Islam Studi Club Indonesia, Jakarta, 1967). Hal. 75
[30] Bratakesawa.
Kuntji Swarga (Miftahu’l Djannati). Jilid I. Cetakan V. (Keluarga Bratakesawa, Yogyakarta, 1955). Hal. 15
[31] Bratakesawa.
Kuntji Swarga. Jilid I.
Ibid. Hal. 15
[32] Lihat
“Prawacana” Bratakesawa. Kuntji Swarga (Miftahul Djanati). Cetakan VII.
Penerbit Jajasan Djajabaja, Surabaya, 1966). Hal. 3
[33] Dalam
menilai pandangan dr. Paryana Suryadipura, Harun Hadiwijana hanya
menggunakan salah satu buku karya dokter Jawa itu saja. Buku yang
dimaksud adalah “Alam Pikiran”. Lihat Dr. Harun Hadiwijono.
Kebatinan dan Injil. …Opcit. Hal. 109-110
[34] Lihat dr. R. Paryana Suryadipura.
Daya Upaya Memperoleh Kesampurnaan. (Akademi Metafisika Sapta Gama Surakarta- Adhiningrat, Surakarta, 1956). Hal. 2 dan 6
[35] Lihat dr. R. Paryana Suryadipura.
Manusia Sempurna (Al Insan Kamil). Ceramah Pada Pembukaan Akademi Metafisika Sapta – Gama di Surakarta 12 Februari 1956
[36] Dikutip dengan penyesuaian ejaan. Lihat dr. R. Paryana Suryadipura.
Manusia Sempurna … Ibid
[37] Lihat
Pengantar Azra dalam Karel Steenbrink,
Kawan Dalam Pertikaian (Mizan, Bandung, 2005). Hal. xxii
[38] Almenak
yang dimaksud berisi tentang cara menghitung konversi antara sistem
kalender Masehi, Arab, dan Jawa. Lihat Bratakesawa.
Almenak Atusan Tahun. (Panjebar Semangat, Surabaya, 1968)
[39] Buku
Bratakesawa menunjukkan bahwa meskipun pengetahuan tentang Candra
Sengkala telah dipraktikkan di Jawa sejak jaman pra-Islam, namun
keberadaan Islam turut memberikan warna tersendiri bagi corak Candra
Sengkala yang baru. Lihat Bratakesawa.
Katrangan Tjandrasangkala. Cetakan II. (Balai Pustaka, Jakarta, 1952)
[40] Karya
Bratakesawa ini dimuat ulang oleh Majalah Panjebar Semangat dalam
memperingati Ulang Tahunnya yang ke-60 tahun. Sebelumnya dimuat dalam
majalah yang sama pada No. 19 tgl. 20 Juni 1964. Lihat Bratakesawa.
Petung Slametane Wong Mati: Carane Nggoleki Dina lan Pasarane. Majalah Panjebar Semangat No. 36 – 4 September 1993. Hal. 23 -24