Raden Bratakesawa, seorang tokoh muslim di Jawa, selama ini banyak disalahpahami orang. Beberapa cendekiawan Kristen, misalnya, menggambarkan pribadinya sebagai tokoh kebatinan. Dari deskripsi manipulatif inilah kesalahpahaman itu berakar. Padahal Bratakesawa adalah seorang muslim, bahkan seorang dai. Hal ini terungkap dari testimoni dan kiprahnya dalam membangun kehidupan rohani masyarakat muslim di Jawa melalui tulisan-tulisan berbobot yang dihasilkannya.
Harun Hadiwijono – doktor ilmu teologi, pendeta, dan penulis sejumlah buku tentang Kristen – memposisikan Bratakesawa masuk ke dalam jajaran tokoh Kebatinan. Ia membahas sosok dan ajaran Bratakesawa ke dalam salah satu bagian dari bukunya ”Kebatinan dan Injil”. Berpatokan pada penilaian Imam Supardi bahwa karya Bratakesawa ”berlainan sekali dengan tulisan-tulisan tentang kebatinan yang lain”, Hadiwijono menyimpulkan bahwa Bratakesawa merupakan tokoh kebatinan dan ajarannya merupakan doktrin kebatinan.[1]
Bambang Noorsena, Tokoh Kristen Orthodoks Syria (KOS), dalam buku ”Menyongsong Sang Ratu Adil: Menyongsong Sang Ratu Adil” menempatkan ”Serat Kuntji Swarga” karya Bratakesawa sebagai salah satu literatur kebatinan Jawa.[2]Karya tulis Bambang Noorsena ini kurang mengetengahkan model pembahasan yang tertib dan argumentatif. Untuk sebuah tulisan yang berusaha mengungkap relasi antara Kekristenan dan Kejawen, karya ini justru gagal mendefinisikan makna ”kebatinan” maupun ”kejawen” itu sendiri. Kegagalan terminologis ini selanjutnya secara signifikan berpengaruh terhadap proses seleksi dan deskripsi terhadap entitas yang diidentifikasi sebagai ”kebatinan” atau ”kejawen”. Diantara konsekuensi pengunaan model ini, Bambang Noorsena sering menganggap bahwa sosok Nabi Isa dalam literatur Jawa mengacu pada Yesus dalam Kekristenan dan menjadi justifikasi bagi teorinya tentang keberadaan perjumpaan antara entitas Kristen dan Jawa, meskipun sebenarnya Nabi Isa yang dimaksud lahir dari konsepsi Islam.[3]
Pandangan yang memposisikan Bratakesawa sebagai tokoh kebatinan seperti di atas, secara umum tidak memberikan garis batas yang tegas terhadap terminologi ”kebatinan” dan yang di luar itu. Bangunan argumentasinya hanya didasarkan pada karya Bratakesawa dalam kuantitas yang terbatas. Harun Hadiwijono mendasarkan pandangannya berdasarkan dua karya Bratakesawa yaitu ”Serat Kuntji Swarga” dan ”Wirid I.T.M.I.”. Sedangkan Bambang Noorsena hanya pada satu karya Bratakesawa yaitu ”Serat Kuntji Swarga”.
Kekuatan argumentasi yang dibangun dengan sedikit ”dalil” sangat jarang akan menghasilkan sebuah pandangan yang memiliki kebenaran secara meyakinkan. Apalagi dalam kasus ini, baik ”Serat Kuntji Swarga” maupun ”Wirid I.T.M.I” sejak awal justru menunjukkan diri sebagai literatur keislaman, bukannya ”kebatinan”. Kedua buku itu saja telah menunjukkan warna keislaman yang kental dari pribadi Bratakesawa. Bahasa yang digunakan oleh kedua buku tersebut juga cukup sederhana sehingga mudah dipahami dan pada titik tertentu seharusnya tidak menimbulkan kesalahpahaman.
PEMIKIRAN BRATAKESAWA
Bratakesawa lahir sekitar tahun 1898 M.[4] Nama sebenarnya adalah Gatoet Sastrodiharjo. Ia mulai karernya di Klaten sebagai sekertaris kedua Insulinde Surakarta tahun 1919 dan komisaris SH Surakarta tahun 1920. selama bertugas di Klaten, Bratakesawa banyak melakukan interaksi berbagai kelompok pergerakan maupun individu. Salah satu tokoh pergerakan juga pimpinan sebuah kelompok yaitu Mangunatmaja sebagai pimpinan Sarekat Abangan sekaligus pimpinan SI Delanggu. Namun dalam bukunya “Falsafah Siti Jenar”, dia mengatakan tidak terlalu dekat maupun akrab, bahkan pengetahuannya tentang Sarekat Abangan bukan dari Mangunatmaja tetapi dari beberapa keluarga yang bergabung ke Sarekat Abangan. Selama pertemuannya dengan pimpinan Sarekat Abangan tersebut, tidak pernah membahas masalah Sarekat Abangan maupun ajarannya. Topik pembicaraan selalu masalah “politik”, bukan ilmu.
Tetapi setelah Bratakesawa pindah ke Yogyakarta tahun 1922, dan bekerja di majalah “Panggugah”yang di bina oleh R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Beliau dikunjungi Mangunatmaja sebanyak dua sampai tiga kali. Tetapi beliau tidak terpengaruh sedikitpun dengan ajaran Sarekat Abangan yang saat itu membaur dengan SI Merah. Ini bisa kita lihat dari cerita beliau pada saat mengetahui ada pertemuan di daerah Gandalayu Yogyakarta, dirumah salah satu pemimpin SI Merah sebanyak kurang lebih 25 orang. Ringkasnya demikian: “ Para hadirin semua, saya persilahkan melihat ini”, kata sang guru sambil menyalakan korek api, jres ; setelah menyala lalu di tiup mati pet. “ Cobalah anda merenungkan, nyala api dari korek api tadi dimana, terutama setelah ditiup.? Sekarang jangan ragu dan jangan pula percaya omongan orang lain yang aneh-aneh……..ya ibarat nyala korek api itulah keadaan kehidupan manusia itu. Ketika belum dititahkan (lahir) seperti nyala korek api yang belum dinyalakan. Setelah lahir ke dunia, ya seperti nyala korek api yang dinyalakan tadi. Setelah mati ? ibarat nyala api setelah di tiup angin … selesai”. Mereka yang menerima wejangan itu itu nampak senang sekali. Namun Bratakesawa tidak terpengaruh wejangan semacam itu. Ia hanya termenung, “Apa mungkin para sarjana dan cendikiawan yang saling mengejar ilmu serta menyingkirkan diri dari perbuatan dosa itu bodoh-bodoh semua ?”.[5]
Menurut cerita tersebut dapat kita simpulkan bahwa Bratakesawa belum terpengaruh murid-murid Natarata maupun ajarannya. Sehingga pada saat beliau menulis ulang Serat Siti Jenar dengan judul Falsafah Siti Jenar yang diterbitkan oleh yayasan Penerbit Joyoboyo, dapat kita jadi penafsiran yang lebih obyektif di karenakan tingkat pemahaman Bratakesawa dengan Natarata hampir sama yaitu masih berpegang teguh pada ajaran Islam. Ini dipertegas juga oleh Hasanu Simon dalam bukunya Misteri Syekh Siti Jenar yang mengatakan bahwa dalam buku Falsafah Siti Jenar, Bratakesawa menunjukkan keteguhannya dalam mengimani Islam secara benar.[6]
I’TIKAD BRATAKESAWA
Terkait banyaknya kesalahpahaman terhadap sosok dan i’tikad pribadinya terkait substansi Serat “Kuntji Swarga” dan “Wirid I.T.M.I”, sebenarnya Bratakesawa telah menyadarinya sejak awal. Pembaca tulisan-tulisannya belum semuanya memiliki dasar pemikiran yang jelas. Dalam bahasa Bratakesawa, dereng sangu paham warni-warni ingkang minangka gegaraning panimbang (belum memiliki bekal pemahaman terhadap bermacam-macam pemikiran sebagai kerangka dalam mempertimbangkan). Sehingga sebagian pembaca ini melakukan kekeliruan sebab hanya berpegang pada satu bentuk pemahaman yang belum pernah diperbandingkan dengan pemahaman lainnya (sisip sembiripun lajeng nisih, namung ngencengi salah satunggaling paham, ingkang dereng nate katanding-tanding).[7] Adanya kesalahpahaman terhadap ajarannya inilah yang memotivasi Bratakesawa untuk menjelaskan i’tikad dirinya melalui Serat “Bajanul Chaliq”[8]sebagai seorang muslim yang berusaha memegang teguh iman.[9]
Secara umum pemikiran Bratakesawa cenderung mudah untuk dilacak. Mantan wartawan ini termasuk seorang penulis yang produktif menelurkan sejumlah karya.Serat Bajanul Chaliq (baca: bayanul khaliq) merupakan salah satu buku yang mengungkapkan “keyakinan” Islam dari Bratakesawa. Buku ini sengaja ditulis oleh Bratakesawa sebagai bacaan pembanding terhadap Serat Bajanullah (baca: bayanullah) karya Raden Pandji Natarata.[10] Isi dari Serat Bajanul Chaliq ini merupakan wujud tekadnya sebagai seorang muslim yang beriman. Terungkap dalam Bajanul Chaliq sebagai berikut:
“Iktikad kula ingkang kula sumantakaken wonten ing Serat “Bajanul Chaliq” punika boten sanes kajawi iktikad kula satunggaling tiyang Islamingkang kasandhangan iman. Jalaran saking punika, sanajan ingkang kula sarasehaken punika prakawisipun tiyang sajagad boten pilih agama, ananging pamanggih kula punika migunakaken wawaton ingkang dados cecepenganipun muslim tuwin mukmin.[11]
(Iktikad yang saya bicarakan dalam Serat “Bajanul Chaliq” ini tidak lain adalah iktikad saya sebagai penganut Islam yang memiliki iman. Oleh karena itu, walaupun apa yang saya bicarakan ini merupakan permasalahan orang sedunia tanpa memandang agama, tetapi pendapat saya tersebut menggunakan peraturan yang menjadi pedoman bagimuslim dan mukmin).
Bratakesawa menjelaskan bahwa muslim adalah orang yang memeluk Agama Islam atau Agama Nabi Muhammad (muslim punika tegesipun tiyang ingkang ngrasuk agama Islam utawi agama Muhammad). Adapun pedoman (paugeran) menjadi muslim, menurut Bratakesawa adalah dengan menjalankan Rukun Islam sebagai berikut:[12]
- Ngucapaken kalimah sahadat: La ilaha illallah (ora ana sesembahan kajaba Allah),sldj. (= Mengucapkan kalimat syahadat: La ilaha illallah (Tiada sesembahan kecuali Allah), dan seterusnya).
- Nindakaken salat gangsal wekdal, tuwin sanes-sanesipun ingkang nama salat wajib (= Melaksanakan ibadah shalat wajib lima waktu, dan lain-lainnya yang dinamakan shalat wajib).
- Ambayar jakat miturut pranatan (= Membayar zakat menurut aturan)
- Nglampahi siyam sawulan saben wulan Ramelan (= melaksanakan ibadah siyam selama sebulan setiap bulan Ramadhan)
- Kesah Haji dateng Betullah, menawi kuwaos (= pergi haji ke Baitullah jika mampu).
- Percaya wontenipun Allah ingkang nitahaken langit-langit lan bumi saisinipun sadaya (= percaya adanya Allah yang memerintah langit-langit dan bumi seisinya)
- Percaya wontenipun malaekat-malaekating Allah (=percaya adanya malaikat-malaikat Allah)
- Percaya wontenipun kitab-kitabing Allah (=percaya adanya kitab-kitab Allah)
- Percaya wontenipun para rasul utusaning Allah (=percaya adanya para Rasul utusan Allah)
- Percaya wontenipun dinten kiyamat inggih dinten patangening roh-roh saking kubur (=percaya adanya hari kiyamat yaitu hari dibangkitkannya roh-roh dari kubur)
- Percaya wontenipun takdir awon lan takdir sae, tumrap satunggal-tunggaling titah (=percaya adanya takdir buruk dan takdir baik, bagi setiap makhluk)
Kula matur prasaja, pangriptanipun Serat “Bayanul Khaliq” anggenipun ngaken muslim lan mukmin punika boten namung aken-aken utawi lelamisan kemawon.
Istilahipun sapunika, Islam kula boten namung Islam “statistiek” kemawon, sayektosipun ugi netepi rukun-rukunipun, kajawi kesah haji ingkang dereng, amargi dereng kuwaos.
Iman kula ugi netepi rukun-rukunipun, malah percaya kula terus ing sanubari, boten namung tiru-tiru kemawon.
Dados saupami wonten saderek ingkang sanes muslim lan sanes mukmin, kapareng maos serat “Bayanul Khaliq” punika, mugi sampun cuwa ing penggalih, manawi boten cocog kaliyan iktikad kula.[14]
(Saya berkata jujur, pengarang Serat “Bayanul Khaliq” pengakuannya sebagai muslim dan mukmin itu bukan hanya mengaku-aku atau pemerah bibir belaka.
Istilah sekarang, keislaman saya bukan hanya Islam “statistik” saja, sejatinya juga menetapi rukun-rukun, kecuali naik haji karena belum mampu.
Iman saya juga menetapi rukun-rukunnya, malah percaya hingga dalam sanubari tidak sekedar meniru-niru belaka).
Tentang keyakinan hidupnya, Bratakesawa menceritakan proses dirinya hingga mengenal Islam. Pengenalan terhadap Islam tersebut melalui proses yang panjang. Pengalaman banyak berguru dan membaca buku telah menempa pribadinya untuk lebih dekat terhadap ajaran Tauhid. Pada sekitar 1920-an Bratakesawa telah banyak membaca buku-buku tentang kebatinan, bahkan menjadi salah satu anggota Perhimpunan Theosofi dan menjadi pendengar ceramah-ceramah para “gembong” theosof. Namun persentuhan dengan ajaran kebatinan dan theosofi tidak mampu memuaskan “dunia batin” dalam dirinya.[15] Bratakesawa tidak tanggung-tanggung, ia melakukan serangkaian kajian terhadap sejumlah kitab suci agama lain sebelumnya. Hasil dari proses yang demikian, mengantarkan Bratakesawa mantab memilih Islam. Serat Bajanul Chaliq” mengungkapkan sebagai berikut:
“Kula punika waunipun tiyang Islam “statistiek” ingkang babar pisan boten sinau dateng hukum lan rukuning agama Islam, dados boten wonten bedanipun kaliyan tiyang ingkang boten gadhah agama. Anggen kula lajeng ngantepi agama Islam, punika sareng sampun sepuh, sasampunipun tuwuk anggen kula maguru-maguru, maos serat-serat wirid, suluk, falsafah lan tashawwuf, punapa dene kitab-kitab agama warni-warni.[16]
(Saya ini sebelumnya adalah penganut Islam “statistik” yang sama sekali tidak mempelajari hukum dan rukun Islam, jadi tidak ada bedanya dengan manusia yang tidak beragama. Adapun kemantapan saya terhadap Islam, ini terjadi setelah usia tua, setelah kenyang berguru, membaca kitab-kitab wirid, suluk, falsafah, dan tasawwuf, juga membaca kitab-kitab dari bermacam-macam agama).
Al QURAN DAN OPINI KRISTEN
Dalam usahanya untuk menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa, tidak jarang Bratakesawa melakukan perbandingan antara Al Quran dengan kitab suci agama lain. Hal ini dimungkinkan karena sebelum memutuskan untuk beragama dengan benar, guru orang Jawa ini telah mempelajari kitab suci sejumlah agama. Dari pendalaman terhadap sejumlah kitab inilah, ia kemudian mantab memilih Islam sebagai agama ageman.[17]
Dalam buku “Wirid I. T. M. I. : Iman Tauhid Ma’rifat Islam”, Bratakesawa telah berusaha menjelaskan tentang adanya sejumlah faham yang berusaha menolak keberadaan Allah (Atheist). Bratakesawa juga menjelaskan hakikat keyakinan kaum naturalist yaitu manusia yang memiliki pemahaman bahwa penguasa tertinggi alam semesta hakikatnya adalah alam. Kedua paham ini, menurut Bratakesawa adalah pemahaman dari kaum yang kafir yaitu kaum yang tidak mendapatkan cahaya petunjuk. Secara gamblang Bratakesawa memberikan keterangan bagaimana proses kekafiran kaum naturalist terjadi. Menurutnya kekafiran kaum naturalist ini merupakan bentuk penyimpangan pemikiran. Mereka berusaha mengungkap tentang rahasia kehidupan maupun penciptaan, namun karena tidak mendapatkan cahaya petunjuk maka proses pencarian tersebut hanya bersifat “meraba-raba” dan berhenti pada proses memahami kenampakan luar dari alam raya saja.[18]
Bratakesawa menganggap bahwa kaum naturalist mungkin saja telah mengakses Bibel terutama dalam kitab Genesis (Kejadian). Kitab yang diakui sebagai Taurat oleh Yahudi dan Kristen ini menceritakan bagaimana peran “Tuhan” dalam proses “penciptaan” alam semesta. Hanya saja, menurut Bratakesawa, substansi kitab Kejadian tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan mencapai pengenalan terhadap Allah sebab tidak mampu menunjukkan tentang sifat-sifat ketuhanan yang bisa memuaskan mereka.[19]
Terkait kitab-kitab selain Al Quran, guru Jawa ini berpandangan bahwa kitab-kitab tersebut, termasuk Bibel, hanya berwujud babad yang bercerita tentang sejarah Rasul, “pertemuan” dengan Tuhan, dan aspek pewahyuan serta proses penyebaran ajarannya saja. Kitab-kitab tersebut umumnya tidak memberikan informasi yang memadai tentang sifat-sifat Tuhan, kecuali sebagai zat luar biasa yang tidak setiap hamba mengetahui. Namun, menurut Bratakesawa, Tuhan dalam kitab-kitab tersebut selalu digambarkan sebagai zat yang memiliki tubuh material, sebagaimana halnya makhluk ciptaan. Hal ini diungkapkan Bratakesawa sebagai berikut:
“Andene kitab-kitabe Allah kang sadurunge Qur’an iku, pancen, isine pada awujud babad kang mung nyritakake sajarahe (asal-usule) Rasul, lelampahane nalika “dipanggihi” Pangeran lan kaparingan dawuh (wahyu), apadene lelampahane liya-liyane bab anggone nyiyarake agama. Ora nyritakake bab sipat-sipating Pangeran, malah yen nyritakake Pangeran iku kaya-kaya ana blegere, nanging bleger luar biasa, ora saben wong weruh.”[20]
(Adapun kitab-kitab Allah sebelum Al Quran, memang, isinya berwujudbabad yang hanya bercerita tentang sejarah (asal usul) Rasul, kisah ketika “ditemui” Tuhan dan mendapatkan wahyu, juga kisah lainnya dalam penyiaran agama. Tidak menceritakan tentang sifat-sifat Tuhan, malah jika bercerita tentang Tuhan digambarkan seolah memiliki wujud material, tetapi wujud luar biasa yang tidak setiap orang mengetahui).
Berbeda dengan Al Quran, kitab suci umat Islam ini, tidak berwujud babadsebagaimana kitab-kitab lainnya. Al Quran memuat perintah-perintah Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada umatnya. Perintah-perintah tersebut juga telah disertai dengan informasi mengenai sifat-sifat Allah. Bratakesawa mengungkap hal tersebut sebagai berikut:
“Hla Qur’an ora babad kaya mangkono iku. Sawutuhe Qur’an kang kandele 30 juz utawa 114 surat (bab) iku mligi ngemot dawuh-dawuhing Pangeran kang ditampa dening Nabi Muhammad s.a.w. Dawuh-dawuh mau akeh banget kang sinartan katrangan bab sipat-sipating Pangeran, antarane kaya kang wis tak aturake kae: (1) tan pisah klawan sira lan pirsa samubarang tindakira (2) nguningani sajroning atinira (3) luwih cedak tinimbang otot bebayunira (4) lan liya-liyane kang surasane sairib mengkono.”
(“Hla Qur’an bukanlah babad seperti itu. Seutuhnya Qur’an setebal 30 juz atau 114 surat (bab) itu memuat perintah-perintah Allah yang diterima oleh Nabi Muhammad s.a.w. Perintah-perintah itu banyak sekali disertai dengan keterangan mengenai sifat-sifat Allah, antara lain seperti sudah kukatakan : (1) tidak berpisah dari dirimu dan mengetahui semua perbuatanmu (2) mengetahui isi hatimu (3) lebih dekat dari pada urat lehermu (kata yang dipakai “otot bebayunira” = “saluran napas kamu”) (4) dan lain-lain yang isinya serupa.”)
Tulisan Bratakesawa yang mengutip ayat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, untuk ”meluruskan” gagasannya, rupanya juga membuka ruang untuk disalahpahami. Dalam ”Serat Kuntji Swarga”[21] misalnya, Bratakesawa menggunakan kitab Kejadian dan Yohanes untuk mendukung konsepsinya tentang manifestasi ”citra” Allah. Bambang Noorsena menilai bahwa pandangan Bratakesawa tentang Yesus sebagai Putra Allah dalam hubungannya dengan Sang Bapa sudah sesuai dengan pewartaan Injil. Kata ”putra” disana tidak bermakna letterlijk atau harfiah, melainkan simbolis yang serupa dengan bayangan. Hal ini dapat dilihat dalam karya Bratakesawa yang dikutip oleh Bambang Noorsena sebagai berikut:
Kitab Toret (Turat) nyebutake: Allah banjur nitahake manungsa nulad citra-Ne, enggone nitahake kang tinulak citra-Ne Allah, pada katitahake lanang lan wadon” (Purwaning Dumadi 1 : 27).
Ing Injil nyebutke: ” Ora ana wong kang marek marang Sang Rama menawa ora metu ing Aku. Menawa kowe pada wanuh marang Aku, mesthi iya padha wanuh marang Rama-Ku” (Yokanan 14: 6,7). Wong Kang wus ndeleng sang Rama, lan Sang Rama ana ing aku ?” (Yokanan 14: 9, 10). Coba rasakna. Kang ditembungake manungsa nulad citra-Ne Allah ing Kitab Toret iku rak iyo kang tak umpamaake wewayangane srengenge karo srengenge, ta? Lha kang sinebut Sang Putra karo Sang Rama ing Kitab Injil mau rak iyo iku, ta?
Ewadene ing Qur’an perlu nerangake Lam yalid wa Lam Yulad (al-Ikhlas 3 : ”Ora peputra lan ora diputraake”). An da’au lir rahmani waladan wa maajanbaghi lir rahmani an jattachidza waladan (Maryam 91,92: ”Deweke pada kanda yen Pangeran iku kagungan putra, lha pangeran kagungan putra iku ora patut), jalaran ana wong-wong kang nekadake yen tembung ”putra” iku ateges letterlijk, dudu symbolisci kang pepindane wewayangan.
Terjemahan:
Kitab taurat menyebutkan: ”Maka Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra diri-Nya, menurut citra Allah diciptakan-Nya laki-laki dan perempuan” (Kejadian 1: 27). Dalam Injil disebutkan: ”Tidak ada seorang pun yang datang kepada sang Bapa, kalau tidak melalui Aku. Apabila kamu mengenal Aku, pasti pula kamu mengenal Sang Bapa (Yoh. 14: 6,7). ”Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat sang Bapa, tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku?” (Yoh. 14: 9,10). Cobalah rasakan, yang dikalimatkan manusia sebagai citra Tuhan dalam Kitab Taurat itu, bukankah sama dengan yang kuumpamakan bayangan matahari dengan matahari? Dan bukankah yang disebut Sang Putera dan Sang Bapa dalam Kitab Injil juga sama dengan itu? Akan tetapi, Alquran perlu enjelaskan Lam Yalid walam Yulad (al-Ikhlas 3: ”Tidak beranak dan tidak diperanakkan”). An da’au li’rahmani waladan wa maajanbaghi lir rahman an jattachidza waladan (Maryam 91:92: ”Mereka mengatakan mempunyai putera, sedangkan mengatakan Tuhan berputera itu tidak patut”). Disebabkan ada orag-orang yang mengartikan kata ”putera” itu secara harfiah, bukan dalam arti simbolis yang diibaratkan bayangan. (sic!)[22]
Dalam menilai kutipan di atas Bambang Noorsena memberikan catatan bahwa meskipun pelukisan Bratakesawa tidak jauh berbeda dengan apa yang diwartakan Injil, namun terdapat perbedaan yang tidak dapat dianggap kecil. Menurut Noorsena, walaupun menggunakan sebutan yang sama, istilah Putera Allah dalam hubungannya dengan sang Bapa dalam Kuntji Swarga dimaksud untuk membenarkan pandangan bahwa Purusha sebagai individueele God dan Isywarasebagai algemeene God. Bratakesawa mengibaratkan keduanya sebagai matahari dan bayangannya, Allah dengan citranya atau Tuhan dengan putera.[23] Selanjutnya, Bambang Noorsena menempatkan bahwa posisi Bratakesawa seolah-olah berusaha menjelaskan bahwa umat Islam telah salah paham terhadap pengertian ”putera Allah” yang selama ini dimaknai secara harfiah dan fisikal. Hal tersebut diungkapkan oleh Bambang Noorsena sebagai berikut:
”Selanjutnya, kendati kita mendapatkan seraut wajah yang serba remang-remang dan penuh tanda tanya, namun berkat tradisi dan budaya Jawa yang luhur dan tinggi pesan Injil lebih mampu ditangkap dan diterjemahkan sesuai dengan polanya sendiri. Pernyataan ini dikemukakan khususnya dengan mengambil perbandingan dengan agama Islam.
Misalnya, mengenai gelar Putera Allah. Harus ditekankan bahwa yang dihadapi oleh Serat Centhini, R. Ng. Ranggawarsita, Bratakesawa, atau Raden Soenarto bukan masyarakat penyembah patung seperti dijumpai Nabi Muhammad. Karena itu tidak pernah ada kekhawatiran bahwa penggunaan istilah Putera Allah akan diterima secara harfiah dan fisik, seperti pertentangan kasar Lam Yalid wa lam Yulad. Alasannya, ”Bagaimanakah Allah beranak, sedangkan Dia tidak beristri? (Qur’an, surah al-An’am 101). Bahkan untuk kesalahpahaman itu, Serat Darmagandhul, Pakde Narto, dan Bratakesawa merasa perlu untuk menjelaskan kepada umat Islam yang belum mengerti.”[24]
Tulisan Bambang Noorsena tersebut seolah memberi peluang bagi pembaca untuk menafsirkan secara beragam. Kalimat-kalimat yang ditampilkannya memiliki kesan ambigu. Pada satu bagian seolah-olah menggambarkan bahwa manusia Jawa yang memiliki tradisi dan budaya luhur nyatanya lebih mampu menangkap esensi putra Allah dalam kekristenan, dibandingkan ajaran Islam. Penggunaan gelar putera Allah dalam Islam , menurut pandangan ini, seringkali dihubungkan dengan hal yang bersifat fisik dan harfiah. Jika yang dimaksudkan oleh Bambang Noorsena adalah hendak menyalahkan pandangan Islam, maka hal itu justru merupakan sebuah peletakan batu bagi monumen ketidakpahaman.
Kritik Islam terhadap paham ”Allah beranak” bukan hanya mencakup terhadap pemahaman yang bersifat alegoris atau simbolis belaka, namun memang menyangkut pada wilayah yang bersifat fisik dan harfiah. Dalam gambaran masyarakat jahiliyah Arab, Allah telah digambarkan memiliki beberapa putri dalam makna yang bersifat fisik. Penyembahan terhadap berhala hakikatnya mewakili konsep penyembahan terhadap Allah melalui perantara putri-putri Allah yang telah dimanifestasikan dalam wujud patung. Salah satu fungsi Al Quran adalah mengkritik pemahaman yang bersifat demikian dan meluruskan ajarannya untuk kembali kepada ajaran azasi millah Ibrahim, yang menyembah Allah sebagai zat yang maha tanpa mempersamakannya dengan makhluk yang memiliki wujud material.
Nama Bratakesawa yang dicatut oleh Bambang Noorsena sebagai salah satu tokoh yang hendak menjelaskan hakikat putera Allah ”kepada umat Islam yang belum mengerti” sebenarnya justru melakukan kritik secara tersirat terhadap ajaran kekristenan. Nampaknya, Bambang Noorsena justru kurang mampu menangkap esensi dari Serat Kunci Swarga ketika melakukan pengutipan terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Terbukti, Noorsena justru hanya menekankan bahwa Bratakesawa menggunakan ungkapan simbolis ”Matahari dan bayangan” dalam menggambarkan ”Allah dan Putera” sebagai wujud pembenaran teori Individueele God dan Algemeene God. Terkait konsep yang terakhir ini masih dapat diperdebatkan, namun esensinya jauh melampaui wilayah tersebut.
Hal tersebut dapat dicermati pada pengertian yang hendak dibangun Bratakesawa terkait dengan hubungan antara titah dengan khaliq, termasuk posisi simbolis antara Matahari dan bayangannya. Sebagaimana diungkapkan Bratakesawa dalam Kunci Swarga sebagai berikut:
”Paham loro iku mau mungguhing aku: pada benere. Sebabe sulaya, ora liya jalaran ora padha dirasakake disik : endi ta kang diarani titah utawamakhluq ana ing soal kang dirembug iku ?
Yen kang diarani makhluq ana ing wedaran kono iku barang kang mawa wangun – kasara utawa alusa, – mula bener kang anekadake yen makhluq karo khaliq iku loro, ora siji lan ora bisa nunggal, jer khaliq iku tanpa wangun, dudu jisim dudu jirim, tan kena kinya ngapa.
Dene yen kang diarani makhluq ing kono iku Wewayanganing Srengenge mungguhing si jembangan isi banyu, rak iyo bener kang anekadake yen makhluq karo khaliq iku: siji, ta? Rak iya ora kliru yen makhluq iku bisa nunggal karo khaliq, ta? Kepriye, apa kurang cetha keteranganku iki?”[25]
Terjemahan:
Dua paham itu tadi menurutku: sama benar. Penyebab terjadinya perbedaan, tidak lain adalah tidak dirasakan dahulu: mana yang dinamakan makhluk dalam persoalan yang sedang dibicarakan itu?
Jika yang dinamakan makhluk dalam pembicaraan itu adalah barang yang memiliki bentuk – kasar atau pun halus – maka benar yang beranggapan bahwa makhluq dan khaliq adalah dua, bukan satu dan tidak bisa menyatu, sebab khaliq itu tanpa bentuk, bukan jisim dan bukan jirim, tidak dapat dipersamakan dengan sesuatu pun.
Ada pun jika yang dinamakan makhluk di situ adalah bayangan Matahari dalam bejana berisi air, bukankah benar yang beraggapan bahwa makhluq dan khaliq itu satu, kan? Bukankah tidak keliru jika makhluk itu bisa menyatu dengan khaliq, kan? Bagaimana, apa kurang jelas keteranganku ini?
Dari keterangan di atas Bratakesawa coba membenarkan dua konsep pandangan sekaligus yaitu bahwa makhluk – khaliq tidak bisa menyatu dan dipihak lain, makhluk-khalik bisa menyatu. Menurut pandangan Bratakesawa kedua pandangan yang seolah kontradiktif tersebut pada dasarnya tidak saling bertentangan dan tidak perlu menjadi sumber pertentangan. Hal itu akan terjadi jika pengertian makhluk dalam masing-masing konsep diuraikan secara definitif. Ketika makhluk didefinisikan sebagai wujud material maka ia tidak akan dapat bersatu dengan khaliq yang immaterial. Sedangkan pengertian dari konsep kedua lebih menekankan makhluk sebagai wujud immaterial yang dicontohkan sebagai bayangan matahari dalam jembangan berisi air.
Definisi yang kedua dalam karya Bratakesawa ini sesungguhnya merupakan kritik terhadap konsep persatuan Tuhan dan Manusia dalam kepribadian Yesus. Meskipun pada tingkatan tertentu makhluk dapat menyatu dengan citra khaliq sebagaimana menyatunya bayangan matahari dalam bejana berisi air, namun bayangan matahari tersebut tetap tidak dapat disebut sebagai matahari. Demikian juga meskipun manusia Yesus memiliki citra yang berasal dari Allah, namun Yesus tetap tidak dapat dinamakan Allah. Sebab Yesus hanya menjadi reflektor bagi citra Allah dan memang bukan Allah itu sendiri. Lebih lanjut, Raden Bratakesawa memberikan keterangan bahwa penyatuan antara makhluk dan khalik jangan disamakan dengan ”Mudadama dapat melihat kepada Wredatama”, namun seperti keyakinan ”kaya ngertimu marang dina Ngahad. Anggonmu percaya sebab kantor-kantor pada tutup, sarta dina Jumuwah wis kupungkur let sedina”[26] (Seperti pengertianmu terhadap Hari Ahad, engkau percaya bahwa pada hari itu banyak kantor-kantor yang tutup, serta Hari Jumat sudah berjarak satu hari sebelumnya).
Pandangan Bratakesawa yang menggunakan perumpamaan matahari dan bayangan matahari dalam bejana air ini memiliki kemiripan dengan pemikiran Al Ghazali yang tertuang dalam Ihya’ Ulumuddin. Al Ghazali menerangkan bahwa keberadaan Tuhan sebenarnya bersifat ngegla (terang benderang). Hal ini diungkapkan dengan menggunakan tamsil atau analogi bahwa Tuhan adalah seperti halnya matahari. Sedangkan manusia ditamsilkan sebagaimana halnya kelelawar. Selama kehidupannya kelelawar tidak mampu melihat matahari karena inderanya sangat lemah. Cahaya Allah, menurut Al Ghazali, yang dianalogikan seperti matahari itu teramat terang, sementara indera manusia tidak mampu menangkapnya. Manusia akan bisa menangkap cahaya Allah dengan menggunakan mata hati. Hati atau qalbu oleh Al Ghazali diibaratkan dengan cermin (mir’ah). Jika cermin ini dibersihkan dari kotoran duniawi maka manusia akan bisa melihat citra Allah melalui cermin hatinya.[27] Melalui pandangan ini dapat diungkapkan bahwa bayang-bayang (citra) Tuhan bersifat immanen dalam kalbu manusia, maka syarat untuk melihat Tuhan adalah dengan pensucian hati dan mawas diri. Sementara Tuhan itu sendiri tetaptranscendent, mengatasi alam semesta.
KLAIM KEBATINAN
Telah diungkapkan sebelumnya beberapa akademisi Kristen berusaha mengetengahkan bukti bahwa ajaran Bratakesawa menunjukkan rasa “simpatik” dan tidak bertentangan dengan kekristenan. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa Bratakesawa merupakan tokoh kebatinan, sebuah entitas yang ditempatkan berada di luar Islam. Dengan kata lain penempatan Bratakesawa sebagai tokoh kebatinan ini secara serta merta akan menempatkan sosoknya pada posisi kontra Islam. Meskipun pandangan ini berusaha mengetengahkan “bukti-bukti”, namun agaknya belum mampu memotret secara utuh makna sebenarnya dari “kebatinan”. Tidak mengherankan jika produk dari diskursus ini akhirnya bersifat bias. Meskipun demikian, definisi-definisi tentang kebatinan hingga saat ini juga masih belum menemukan satu formula pengertian yang memuaskan.
Badan Kongres Kebatinan Indonesia II tahun 1956 di Surakarta merumuskan bahwa arti “kebatinan” adalah “sumber azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup”.[28] Prof. Dr. H.M. Rasjidi, seorang akademisi muslim yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI pertama, mengungkapkan kritik bahwa pengertian kebatinan tersebut adalah wujud definisi yang terbalik. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila yang penting, sebab Tuhan Yang Maha Esa inilah yang menciptakan alam dan manusia. Ia menciptakan segala wujud, alam ghaib, dan nilai-nilai. Dalam pandangan ini Tuhan Yang Maha Esa menjadi sumber dari segala sesuatu, termasuk menjadi sumber bagi kebatinan. Oleh karenanya, bukan kebatinan yang menjadi sumber Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana definisi BKKI tersebut. Melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang menjadi sumber kebatinan.[29] Meskipun demikian pengertian “kebatinan” dalam definisi ini tetap belum memberikan batasan yang mencukupi.
Bratakesawa tokoh yang “tertuduh” sebagai tokoh kebatinan, juga memiliki definisi sendiri tentang makna “kebatinan”. Ia mendefinisikan kebatinan merupakan “semua pengetahuan yang bukan permasalahan lahir.” Masuk dalam definisi kebatinan adalah sejumlah aji-ajian dan ilmu ghaib. Dalam pengertian ini, Bratakesawa menganggap bahwa ilmu Ketuhanan merupakan ilmu yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari ilmu kebatinan. Hal ini diungkapkan Bratakesawa sebagai berikut:
“Kabatinan” iku luguning tegese: sakabehing kawruh kang dudu babagan lahir. Dadi: sawernaning aji-aji lan kaluwihan iku kalebu kawruh kabatinan kabeh. Hla iku pancen ora kalebu kawruh ka-Allahan.[30]
Terjemahan:
(Kebatinan itu secara sederhana maksudnya semua pengetahuan yang bukan permasalahan lahir. Jadi, sejumlah aji-aji dan kelebihan (yang bersifat ghaib) itu semua termasuk pengetahuan kebatinan. Hla hal itu memang tidak termasuk pengetahuan ke-Allahan.)
Untuk membedakan antara ilmu kebatinan dan ilmu Ketuhanan (ke-Allahan), Bratakesawa memberikan definisi bahwa ilmu ketuhanan adalah pengetahuan yang menerangkan tentang zat, sifat, asma’ dan af’al Allah. Makna ini bisa diperluas dengan menambahkan cara atau metode yang dilakukan manusia untuk berbakti kepada Allah, baik secara lahir maupun batin yaitu dengan menjalani syari’at, Tarikat, Hakikat, dan Ma’rifat. (“Ka-Allahan” tembunge Indonesia ke-Tuhanan, iku kawruh kang nerangake bab Dat, Sipat, Asma, lan Apngaling Pangeran. Kena dijembarake maneh: uga bab carane ngabekti marang Allah, lahir lan batin, iya Sarengat, Tarekat, Kakekat, lan Makripat iku mau).[31]
Dengan mencermati pengertian “kebatinan” yang dicetuskan oleh Bratakesawa, maka secara kokoh “guru orang Jawa” ini sebenarnya telah mengokohkan dirinya bukan sebagai tokoh kebatinan. Buku-buku karyanya secara umum menunjukkan adanya muatan ilmu Ke-Allahan, sesuatu yang dimaksudkan berada di luar ilmu Kebatinan menurut pengertian Bratakesawa.
Bahkan tulisan Bratakesawa “Kuntji Swarga” merupakan jawaban atas munculnya berbagai aliran kebatinan yang memiliki iktikad menyimpang. Munculnya aliran kebatinan semacam ini, menurut Bratakesawa, menciderai ajaran agama yang telah disiarkan para Rasul. Tumbuhnya aliran kebatinan yang saling berjibaku dan terlibat konflik menjadi akar makin melemahnya bangsa, dan pada giliran selanjutnya merugikan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, kehadiran “Kuntji Swarga” adalah sebagai sarana menyebarkan iktikad tentang Allah berdasarkan dalil naqli (Al Quran dan Hadits) dan dalil Aqli (menurut akal pikiran).[32]
Metodologi penalaran induktif yang digunakan oleh Harun Hadiwijono untuk menemukan makna “kebatinan” dan karakteristiknya, akan sulit menemukan sebuah konklusi yang tepat. Proposisi-proposisi yang digunakan oleh Harun untuk mencapai sebuah “konklusi”ternyata tidak semuanya merupakan entitas yang memiliki hubungan dengan “kebatinan”. Buku “Kebatinan dan Injil” karyanya menggunakan lima buah proposisi yang dianggap representasi dari kebatinan antara lain Paguyuban Sumarah, Sapta Darma, ajaran Bratakesawa, Pangestu, dan ajaran Paryana Suryadipura untuk bisa menghasilkan definisi kebatinan beserta karakteristik mendasarnya. Namun demikian telah dijelaskan sebelumnya Bratakesawa, hanya merupakan salah satu contoh tokoh yang “dianggap” kebatinan belaka. Sementara ia seharusnya tidak dimasukkan ke dalam kelompok ini.
Tokoh lain yang perlu dicermati adalah dokter Paryana Suryadipura. Dokter ini oleh Harun Hadiwijono juga dikategorikan sebagai salah satu tokoh kebatinan, entitas yang dianggap berada di luar Islam. Harun Hadiwijono mengungkapkan bahwa dr. Paryana Suryadipura bermaksud menganalisa proses pikiran dengan menggunakan salah satu metode yaitu menggunakan patokan agama. Patokan agama yang dimaksud oleh Paryana Suryadipura menurut Harun Hadiwijono adalah “ilmu kebatinan”.[33]
Pandangan Paryana Suryadipura sebenarnya menekankan adanya 2 (dua) dimensi dalam agama yaitu ilmu lahir dan ilmu gaib (mistik). Ilmu yang bersifat lahir yaitu patokan-patokan agama yang ada dalam kitab suci masing-masing. Dengan cara menjalankan syariat agama dengan baik atau dengan kata lain memperkuat dimensi lahir dari agama, maka tenaga batinnya akan timbul dengan sendirinya. Seseorang tidak akan dapat memperoleh kekuatan batin, apabila tidak mengenal dan menjalankan praktik agama yang dianut dengan sebaik-baiknya. Paryana Suryadipura menyebut proses timbulnya tenaga atau ilmu batin yang muncul dengan menjalankan syariat agama sebagai akibat dari hukum automatisme.[34] Oleh karena itu penilaian Harun Hadiwijana yang menempatkan bahwa metode “patokan agama” yang digunakan oleh Paryana Suryadipura adalah “ilmu kebatinan”, merupakan gagasan yang kurang tepat.
Paryana Suryadipura mengusulkan adanya penempatan posisi dan relasi yang tepat antara entitas agama dan kebatinan. Ia menyesalkan munculnya praktik dimana “ilmu kebatinan” dijadikan sebagai substitusi agama. Kebatinan seharusnya sekedar menjadi aliran yang berusaha memperdalam pengetahuan tentang filsafat dan secara ideal bernaung di bawah syari’at agama. Para penghayat kebatinan yang mengabaikan syara’ atau bahkan menginjak-injaknya dianggap mewarisi semangat era penjajahan dan sifat mereka itu bersifat paradoks belaka. Usaha menempuh dunia batin dengan mengabaikan syariat agama adalah upaya yang sia-sia, membuang waktu dan tenaga saja. Para pemimpin kebatinan yang percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, namun menciptakan sendiri aturan peribadatannya, tanpa mengikuti syara’dianggap telah mengabdi pada kesesatan. Diibaratkan seperti “menjilat sambil meludah” yaitu mencoba mencari kesejatian Allah namun pada saat yang sama mengingkari perintah-Nya.[35] Pada bagian lain, Paryana Suryadipura menunjukkan pendiriannya yang tegas dalam berpegang kepada syariat agama sebagai berikut:
“Aturan-aturan menurut sara’ adalah lengkap, karena suara yang mengandung amanat berisi sara’ diterima melalui antenne (para Nabi) yang tertinggi, hingga suara itu terdengar semua (tidak ada feeding), jelas, dan suci (tidak dinodai oleh suara yang mengganggu = tidak ada storing). Mungkin tidak ada dosa yang lebih besar dari pada MENJILAT SAMBIL MELUDAH tadi, oleh karena yang dijilat sambil diludahi disini adalah Tuhan sendiri. Didalam Hadits disebut: “Siapa yang mengada-adakan sara’, kufurlah ia”.[36]
Kesalahan Harun Hadiwijono dalam menetukan proposisi ini, baik dalam kasus penempatan Bratakesawa maupun Paryana Suryadipura sebagai tokoh kebatinan, jelas berakibat fatal. Seperti menciptakan sebuah bangunan argumentasi dengan menggunakan “batu bata” yang masih mentah. Bangunan itu bisa saja berhasil didirikan, namun tentu diikuti dengan timbulnya sejumlah kelemahan yang menjadi konsekuensi logis dari pemilihan bahan tersebut.
DAI YANG LUAR BIASA
Salah paham terhadap kepribadian Raden Bratakesawa memang sering terjadi di kalangan para penulis. Beberapa diantaranya menempatkan Bratakesawa sebagai sosok kebatinan Jawa. Apalagi jika terdapat sejumlah sumber dari pihak Kristen yang justru mendukung teori yang keliru tersebut.
Tindakan manipulatif kalangan Kristen ini nampaknya bukan sekedar kesalahpahaman atau kekeliruan. Tetapi merupakan suatu model “perilaku akademis” yang sengaja dipraktikkan. Azyumardi Azra, sejarawan, menempatkan Harun Hadiwijono sebagai salah satu akademisi Kristen yang mempraktikkan strategi dikotomi dan pemisahan oposisional antara Islam dengan kebudayaan Jawa. Diantaranya dengan mensimplifikasi sikap keagamaan masyarakat Jawa sebagai “Kebatinan” (Kejawen). Tujuannya adalah mereduksi dan mengaburkan pengaruh Islam dalam sikap keagamaan itu atau bahkan dalam lapangan kebudayaan yang lebih luas. Bisa ditebak, wajah Islam di Jawa diusahakan semakin memudar dan tersedia peluang lebih besar bagi keberhasilan misionaris.[37]
Padahal makna ”kebatinan” itu sendiri pada dasarnya masih debatable, apalagi jika harus memasukkan ajaran Bratakesawa sebagai salah satu variannya. Hal yang paling nampak dari karya-karya Bratakesawa menunjukkan bahwa ia merupakan sosok yang mencoba mempertahankan dan menempuh jalur ”orthodoksi” Islam. Ia merupakan salah satu anggota Persyarikatan Muhammadiyah yang secara bertepatan memiliki ”kesenangan” untuk mengkaji tentang masalah budaya Jawa. Namun demikian karya-karyanya tidak jarang menampakkan wajah paham ”Asy’ariyah” yang pada masanya menjadi salah satu ciri khas dari pemikiran kalam dalam Nahdhatul Ulama (NU). Juga karya-karyanya yang mencoba membedah sejumlah produk budaya Jawa dan Islam seperti almanak[38], pengetahuan tentang Candra Sengkala[39], perhitungan selamatan orang mati[40], dan lain sebagainya. Dengan demikian, Raden Bratakesawa memang merupakan sosok yang unik dan sekaligus menarik.
Penulis: SusiyantoPeneliti di Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com
[1] Tulisan Imam Supardi yang dimaksud merupakan sebuah prakata dari buku ”Kuntji Swarga” cetakan keenam karya Bratakesawa. Lihat Dr. Harun Hadiwijono.Kebatinan dan Injil. Cetakan IX. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006). Hal. 43
0 komentar:
Posting Komentar