Seperti sudah diberitakan sebelumnya, Fajar Shadiq adalah salah seorang anggota Tim Media dari Indonesia yang mengikuti Road for Peace (R4Peace) di tiga negara (Malaysia, Thailand dan Myanmar) yang diikuti 100 NGO (LSM) Asean selama dua pekan. Dari Indonesia, diikuti oleh Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI): Emriza, Abd Shomad dan Abu Bumi serta Tim Media: Fajar Shadiq dan Adhes Satria.
Keterangan ini disampaikan Fajar Shadiq, jurnalis an-najah.net, kepada anggota JITU untuk disebarluaskan dan diketahui sidang pembaca:
Selasa (23/7/2013) pagi sekitar jam 10 waktu setempat Tim Media berencana mengambil gambar di wilayah perbatasan yang biasa disebut “Israel” (kawasan campuran) dan kawasan “Palestina”–di sini ada lokasi perbelanjaan seperti pasar. Di wilayah “Palestina” kita tak ada masalah, semua bebas mengambil gambar dan footage video.
Tak berapa lama kami menyeberang ke wilayah “Israel”. Sama, di situ juga ada pasar, tapi yang yang berdagang kebanyakan China dan Buddhist. Kami mengambil beberapa gambar menarik. Di antaranya toko emas yang di depannya dipagar batu untuk membentengi toko dari ledakan bom.
Di situ salah seorang pemilik toko yang saya ambil fotonya keberatan dan minta dihapus… oke saya hapus satu gambar, tapi beberapa gambar lainnya tidak saya hapus, hanya pura-pura mencet tombol mode, jadi layar gelap, seolah-olah gambarnya hilang. Akhirnya dia puas, lalu pergi meninggalkan saya.
Kemudian, kami ke rel kereta. Saya bertiga dengan Faris Noor (Videografer Malaysia) dan Abd Shomad (relawan HASI) mendatangi pos polisi untuk minta izin mengambil gambar. Rupanya ia bisa bahasa Melayu. Kami sempat mengobrol sebentar. Tak lama ada kereta datang. Jarak dari perlintasan kereta ke stasiun Yala sekitar 200 m.
Saya dan Faris berinisiatif mengabil momen kedatangan kereta. Spontan ia (Faris) mengambil ke arah kanan gerbong dan saya ke kiri gerbong.
Beberapa kali jepretan, saya melihat ada yang menarik di belakang gerbong tatkala kuli angkat barang sedang menurunkan muatan, saat itulah saya semakin ke dalam ke arah stasiun… Tiba-tiba ada seorang lelaki yang melarang saya mengambil gambar dan memotret di situ, berteriak dengan bahasa Siam. Ia bersikeras merebut kamera saya. Kami sempat tarik menarik selama beberapa saat. Dia menarik paksa lensa canon 1100-D saya, maka saya pun menekan tombol lensa agar kamera tak rusak. Setelah ia berhasil dapatkan lensa, datang satu pria lagi berteriak ke arah saya. Tanpa ba bi bu lagi bogemmentah dihantamkannya ke kepala saya dua kali.
Kontan, setelah itu, saya lari sekuat tenaga menyelamatkan diri, setengah berlari saya menoleh ke belakang, orang itu rupanya tak mengejar. Eh, tapi tak berapa lama kemudian kereta melaju dan dari seberang jalan seorang pemuda berlari kencang mengejar saya. Melihat gelagat buruk, saya pun memaksa diri memacu kaki sekuat tenaga.
Yang saya pikirkan adalah, saya harus menuju kawasan Muslim secepat-cepatnya. Sandal saya tinggalkan agar langkah tak terhambat. Sempat sesekali terjerembab di tengah kerikil-kerikil sepanjang rel. Qadarullah, mobil kami diparkir tak jauh dari perlintasan kereta. Saya langsung masuk ke dalam mobil dan merunduk di kursi tengah. Pak Mustofa Mansur, Ketua Ekspedisi, langsung beralih duduk ke kursi kemudi.
Tak berapa lama, tampak beberapa orang yang mengejar saya, tapi mereka tak tahu saya ada di dalam mobil. Mereka lewati mobil kami begitu saja. Menurut Pak Mustofa, mereka yang mengejar saya membawa senjata. Dengan tenang Pak Mustofa mengemudikan mobil ke arah penginapan yang jaraknya sekitar 500 meter dari TKP.
Sampai saat itu saya tidak tahu di mana posisi Abd Shomad dan Faris Noor. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah, saya tak mengalami hal buruk yang akan dilakukan oleh orang-orang Siam itu lebih lanjut. Dan, alhamdulillah, setelah itu saya mengetahui, Faris Noor dan Abd Shomad, mereka juga selamat. (salam-online)