Hidayatullah.com--Setelah peristiwa serangan 11 September 2001 atas komplek gedung World Trade Center di New York, secara sepihak dan tanpa bukti kaum Muslim dipersalahkan sebagai pelaku kejahatan itu. Di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat, sorotan tajam penuh kecurigaan dan kebencian ditujukan atas Muslim secara terus menerus. Aktivitas intelijen yang memata-matai kaum Muslim, meski operasi itu selalu disangkal, terasa di mana-mana. Dan kini, salah satu operasi rahasia tersebut terungkap.
Associated Press pada Rabu 24/8/2011 menurunkan laporan tentang kegiatan intelijen Kepolisian New York dan CIA yang memata-matai seluruh aktivitas keseharian komunitas Muslim Amerika. Simak laporan tersebut yang disajikan oleh hidayatullah.com dalam empat bagian.
Hari itu Selasa 2 Juni 2009, seorang penjaga bangunan di New Brunswick, New Jersey, membuka pintu apartemen nomor 1076. Meskipun suasana hari itu sangat nyaman, namun si penjaga mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan; buku-buku tentang terorisme bertebaran di atas meja dan di ruangan sebelah terdapat seperangkat komputer dan alat pengintai.
Penjaga gedung yang panik itu lantas menghubungi nomor 911, meminta agar petugas polisi dan FBI segera datang ke gedung yang terletak di dekat Universitas Rutgers siang itu juga.
Ternyata, apa yang mereka temukan di lantai satu gedung apartemen tersebut bukanlah tempat persembunyian teroris, melainkan sebuah pusat komando yang dibangun oleh tim khusus dari dinas intelijen Kepolisian New York (NYPD).
Dari apartemen itu, sekitar satu jam di luar yuridiksi polisi, NYPD sedang melakukan operasi penyamaran dan memata-matai seluruh wilayah New Jersey. Polisi setempat maupun FBI tidak tahu tentang kegiatan itu.
Pasca serangan 11 September 2001, NYPD menjadi salah satu agen intelijen di Amerika Serikat yang paling agresif.
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Associated Press selama berbulan-bulan lamanya, terungkap bahwa NYPD telah melakukan operasi jauh di luar batas wilayah tugasnya dan menarget kelompok-kelompok etnis, yang mana jika operasi itu dilakukan oleh pemerintah federal berarti melanggar undang-undang tentang kebebasan warga negara. Dan operasi tersebut mendapat bantuan dari Central Intelligence Agency (CIA), sehingga mengaburkan garis batas antara aktivitas intelijen di dalam negeri dan luar negeri.
Baik dewan kota yang membiayai operasional NYPD, maupun pemerintah federal yang mengucurkan dana ratusan juta setiap tahunnya, tidak ada yang diberitahu tentang apa yang sebenarnya terjadi.
NYPD menurunkan tim-tim penyamaran yang terdiri dari para petugas keamanan yang dikenal sebagai 'rakers' alat penyapu. Mereka diterjunkan ke dalam lingkungan-lingkungan masyarakat minoritas, sebagai bagian dari program pemetaan manusia. Demikian menurut para pejabat yang terlibat langsung dalam program itu.
Tugas para rakers itu adalah memantau aktivitas sehari-hari dari masyarakat tempat mereka ditugaskan, termasuk kegiatan di toko-toko buku, bar, kafe dan klab malam.
Disamping menggunakan rakers, polisi juga memanfaatkan para informan, yang dikenal sebagai 'mosque crawler' perayap masjid.
Tugas khusus dari para perayap masjid itu adalah memata-matai khutbah dan ceramah yang disampaikan, meskipun sebenarnya tidak ada satupun bukti yang menunjukkan ada kesalahan di dalamnya. Para pejabat di NYPD menyelidiki semua imam dan mengumpulkan informasi intelijen tentang sopir taksi, penjual makanan kaki lima dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sering dilakukan oleh Muslim.
Kebanyakan operasi tersebut dilakukan dengan bantuan CIA, yang sebenarnya dilarang memata-matai warga Amerika [CIA adalah agen intelijen untuk operasi di luar negeri dan FBI di dalam negeri]. Namun peran CIA itu disisipkan sedemikian rupa ke dalam peran unit intelijen NYPD.
Seorang pejabat veteran CIA, yang masih mendapat gaji dari badan intelijen itu, merupakan arsitek dari program intelijen NYPD tersebut.
Agen CIA itu melatih seorang detektif polisi di Farm -- sekolah mata-mata CIA yang ada di Virginia -- lalu mengirimkannya kembali ke New York, tempat di mana ia mempraktekkan keterampilan spionase yang dipelajarinya untuk melakukan aksi mata-mata di dalam negeri Amerika Serikat.
Dan baru-baru ini, tepatnya bulan lalu, CIA mengirim seorang petugas senior untuk menjalankan operasi klandestin di dalam markas-markas kepolisian.
Sementara kegiatan unit mata-mata NYPD yang meluas telah diketahui, banyak rincian tentang operasi-operasi klandestin mereka -- termasuk yang terkait erat dengan CIA -- belum pernah dilaporkan sebelumnya.
NYPD menyangkal tuduhan bahwa mereka 'memancing' di dalam lingkungan masyarakat etnis, dan berdalih bahwa mereka sekedar menuruti perintah saja. Di kota yang sering mendapat ancaman teror itu, polisi merasa tidak perlu minta maaf karena telah berbuat melampaui batas kewenangannya. Operasi intelijen NYPD katanya, telah menggagalkan rencana aksi teroris dan menjebloskan sejumlah calon pelaku teror ke penjara.
"Kepolisian New York akan melakukan apa saja guna memastikan bahwa tidak akan ada lagi 9/11 di sini dan tidak ada lagi warga New York tak berdosa yang dibunuh oleh teroris," kata jurubicara NYPD Paul Browne.
"Dan kami tidak akan meminta maaf atas hal tersebut," imbuhnya.
Namun, para pejabat juga mengatakan bahwa mereka sangat berhati-hati menjaga sejumlah informasi agar tidak sampai terbawa ke pangadilan, di mana hakim mungkin akan memiliki pandangan berbeda. NYPD bahkan menganggap informasi dasar seperti bagan organisasi divisi intelijen sebagai sesuatu yang rahasia dan terlalu sensitif untuk diungkap di pengadilan.
Salah satu pertanyaan yang tak ada habisnya selama beberapa dekade terakhir adalah; apakah untuk menjadi aman sebagian kebebasan dan privasi harus dilepaskan. Perdebatan tentang hal itu berfokus antara lain pada masalah penyadapan dan penahanan tanpa batas waktu oleh pemerintah federal.
Pertanyaan semacam itu sepertinya kurang mendapat perhatian di New York, di mana para penduduknya tidak tahu pasti apa yang telah -- jika ada -- mereka korbankan.
Kisah tentang bagaimana Divisi Intelijen NYPD menjalankan program agresif seperti di atas, dirangkai oleh Associated Pressberdasarkan hasil wawancara dengan lebih dari 40 orang mantan dan petugas aktif di NYPD dan pejabat federal. Kebanyakan dari mereka terlibat langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan operasi-operasi rahasia ini. Walaupun banyak di antara mereka mengakui bahwa taktik operasi itu berhasil membuat kota mereka menjadi lebih aman, namun kebanyakan bersikukuh enggan disebutkan identitasnya, karena mereka tidak berwenang untuk berbicara kepada wartawan mengenai masalah keamanan.
Kisah ini dimulai dengan seorang pria bernama David Cohen.
Ikuti bagian kedua hingga keempat dari tulisan ini untuk mengetahui cerita selengkapnya.*
Keterangan foto: Seorang sopir taksi Muslim di New York sedang melaksanakan shalat.
Sumber : ap
Red: Dija
0 komentar:
Posting Komentar