Ust. Muhammad Muafa, M.Pd
Pengasuh Pondok Pesantren IRTAQI, Malang, Jawa Timur
Pertanyaan kirim ke: redaksi@suara-islam.com
Assalamu'alaikum Wr.Wb. Pak ustadz begini. Pak Ramli adalah tetangga saya yang hidupnya serba pas-pasan, pada suatu ketika Ramli meminjam uang kepada tetangganya Jufri untuk keperluan dirinya dan keluarganya, setelah beberapa bulan kemudian Ramli meninggal dunia dan semua hutang ditanggung oleh Fakhri anaknya, maka Jufri pergi kerumah Fakhri untuk menagih uang yang Rp. 500.000,- yang dipinjam oleh Ramli sewaktu ia hidup. Tetapi setelah Fakhri melakukan pengencekan di buku catatan hutang Ramli ternyata hutang Ramli kepada Jufri bukan Rp.500.000.- tetapi 400.000.- dari sinilah percekcokan itu terjadi namun semua ini sia sia karena Fakhri tidak mau membayar kecuali Rp. 400.000.- karena berpijakan pada buku catatan hutang yang ada.
Wassalamualaikum, Wr.Wb.
Aan Maulana MH
Jawaban:
Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Idealnya, setiap perjanjian hutang piutang dilakukan dua hal: 1. Pencatatan dan 2. Menghadirkan saksi. Pihak yang berhutang menuliskan hutang yang ditanggung sebagai bentuk pengakuan bahwa dia berhutang, atau dia menunjuk pihak ketiga untuk menuliskan tetapi dia yang mendiktekan redaksi pengakuan berhutang, kemudian surat perjanjian ini dipersaksikan dua orang lelaki muslim, atau satu lelaki dan dua wanita, kemudian surat perjanjian hutang itu dipegang oleh pihak yang menghutangi sebagai bukti kepemilikan piutang. Tatacara seperti inilah yang diajarkan Allah dalam Al-Qur'an. Allah berfirman;
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا} [البقرة: 282]
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mendiktekan, Maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Al-Baqoroh: 282)
Dengan cara seperti ini, maka perjanjian hutang piutang lebih dekat pada keadilan, kejujuran, ketidakraguan, kekuatan hukum dan kejelasan. Potensi sengketapun bisa lebih diminimalisasi atau seratus persen dihilangkan. Idealnya, pemilik piutang yang berinisiatif untuk membuat surat perjanjian hutang secara tertulis untuk menjaga haknya agar tidak ada yang hilang.
سنن الترمذى (5/ 183)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي خُطْبَتِهِ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan dalam khutbahnya: "Menghadirkan bukti itu wajib bagi penuntut dan mengucapkan sumpah wajib atas orang yang dituntut." (At-Tirmidzi)
Penerapannya pada kasus sengketa diatas; Pihak yang memberi hutang untuk memperoleh haknya sebesar Rp. 500.000,- harus menunjukkan Bayyinah (bukti) bahwa dia punya piutang. Dalam Islam bukti bisa berupa persaksian pihak ketiga, pengakuan dari pihak yang dituntut, sumpah, atau dokumen tertulis. Oleh karena pihak yang dituntut sudah wafat dan hanya tinggal ahli waris, maka yang paling mungkin adalah menghadirkan pihak ketiga yang bersaksi bahwa dia telah menghutangkan sejumlah Rp. 500.000,- atau surat perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang berhutang. Jika bukti-bukti ini tidak sanggup dihadirkan, maka pihak yang berhutang hanya bisa menuntut pihak yang berhutang untuk bersumpah bahwa dia tidak punya hutang sebesar itu. Masalahnya, pihak yang berhutang sudah wafat sehingga permintaan sumpah tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, hanya pengajuan Bayyinah yang bisa dilakukan pihak yang berhutang. Jika dia tidak bisa melakukannya, maka haknya hilang dan hanya mendapatkan uang sejumlah yang diakui oleh pihak yang membayar hutang.
Nasihat kepada ahli waris pihak yang berhutang: hendaknya berhati-hati dengan urusan hutang. Jangan diremehkan. Sesungguhnya hutang jika tidak dilunasi berapapun jumlahnya, maka hal tersebut akan menghalangi seseorang untuk masuk Syurga. Seorang lelaki calon penghuni surga di zaman Nabi tertahan di pintu surga dan tidak bisa masuk ke dalamnya gara-gara hutang yang dia tanggung belum terbayarkan. At-Tirmidzi meriwayatkan;
مسند أحمد (33/ 329)
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْفَجْرَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَاهُنَا مِنْ بَنِي فُلَانٍ أَحَدٌ مَرَّتَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ هُوَ ذَا فَكَأَنِّي أَسْمَعُ صَوْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ قَدْ حُبِسَ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ بِدَيْنٍ كَانَ عَلَيْهِ
Dari 'Amir dari Samurah bin Jundub bahwa suatu hari Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam pernah mengerjakan shalat fajar, lalu beliau bersabda: "Disinilah salah seorang keturunan bani Fulan -hingga dua kali-." Seseorang berkata; "Seakan aku mendengar dari Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya saudaramu tengah tertahan di pintu surga disebabkan hutangnya." (H.R. Ahmad)
Orang yang berjihad, berperang di jalan Allah lalu mati syahid, semua dosanya terampuni kecuali dosa hutang. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (9/ 468)
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ أَنَّ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلَّا الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ لِي ذَلِكَ
Dari Abu Qatadah bahwa dia mendengarnya menceritakan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa suatu ketika beliau berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya jihad fi sabilillah serta iman kepada Allah, adalah amalan yang paling utama." Maka seorang laki-laki berdiri seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya terbunuh dalam jihad fi sabilillah, apakah dosa-dosaku akan terampuni?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Ya, jika kamu terbunuh di jalan Allah, sabar dan mengharap pahala, maju ke depan dan tidak lari ke belakang." Kemudian beliau bertanya: "Apa yang kamu tanyakan tadi?" dia mengulangi pertanyaannya, "Bagaimana jika saya terbunuh dalam jihad fi sabilillah, apakah dosa-dosaku akan terampuni?" beliau menjawab: "Ya, jika kamu sabar dan mengharap pahala, maju ke depan dan tidak lari ke belakang, kecuali hutang (doa ini tidak diampuni). Begitulah Jibril mengatakannya kepadaku." (H.R. Muslim)
Ahli waris hendaknya mempertimbangkan nasib almarhum di akhirat daripada mempertahankan sedikit harta yang remeh di dunia. Sungguh kasihan jika almarhum termasuk orang yang salih lalu tertahan di pintu surga hanya karena masalah hutang.
Nasihat untuk pihak yang menghutangi; takutlah kepada Allah, dan jangan sampai mengambil harta orang lain lebih dari hak yang dimiliki. Mengambil harta orang lain yang bukan haknya termasuk kezaliman, dan doa orang terzalimi itu mustajab, pasti dikabulkan karena tidak ada penghalang antara dia dengan Allah. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (8/ 321)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ اتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Mu'adz ke negeri Yaman lalu bersabda: "Berhati-hatilah kamu terhadap do'anya orang yang dizhalimi karena antara do'anya dan Allah tidak ada penghalangnya" (H.R. Bukhari)
Sesungguhnya orang yang di dunia memiliki akhlak suka memutihkan piutang kepada saudaranya, maka di akhirat dosa-dosanya akan "diputihkan" Allah sebagaimana dia memutihkan tanggungan saudaranya. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (8/ 201)
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُوسِبَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَلَمْ يُوجَدْ لَهُ مِنْ الْخَيْرِ شَيْءٌ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَكَانَ مُوسِرًا فَكَانَ يَأْمُرُ غِلْمَانَهُ أَنْ يَتَجَاوَزُوا عَنْ الْمُعْسِرِ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ نَحْنُ أَحَقُّ بِذَلِكَ مِنْهُ تَجَاوَزُوا عَنْهُ
Dari Abu Mas'ud dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang laki-laki sebelum kalian dihisab dan tidak didapatkan padanya kebaikan sedikitpun. Hanya saya dia bergaul dengan manusia, dan dia adalah orang yang kaya. Kebiasaannya, dia menyuruh juru tagih-juru tagihnya untuk memutihkan hutang orang yang kesusahan." Beliau melanjutkan: "Lalu Allah Azza Wa Jalla berfirman: Aku lebih berhak atas hal itu daripada dia, oleh karena itu putihkanlah dosanya'." (H.R.Muslim)
Orang yang memiliki akhlak altruisme, yakni lebih mengutamakan orang lain yang lebih menderita daripada dirinya sendiri (meski dirinya juga butuh) dikagumi Allah dan disuka. Bukhari meriwayatkan kisah indah akhlak ini;
صحيح البخاري (12/ 157)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ
{ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ }
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau datangi istri-istri beliau. Para istri beliau berkata; "Kami tidak punya apa-apa selain air". Maka kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada orang banyak: "Siapakah yang mau mengajak atau menjamu orang ini?". Maka seorang laki-laki dari Anshar berkata; "Aku". Sahabat Anshar itu pulang bersama laki-laki tadi menemui istrinya lalu berkata; "Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini". Istrinya berkata; "Kita tidak memiliki apa-apa kecuali sepotong roti untuk anakku". Sahabat Anshar itu berkata; Suguhkanlah makanan kamu itu lalu matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu". Ketika mereka hendak menikmati makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu mematikan lampu dan menidurkan anaknya kemudian dia berdiri seakan hendak memperbaiki lampunya, lalu dimatikannya kembali. Suami- istri hanya menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyah sesuatu) seolah keduanya ikut menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak makan malam. Ketika pagi harinya, pasangan suami istri itu menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau berkata: "Malam ini Allah tertawa atau terkagum-kagum karena perbuatan kalian berdua". Maka kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam QS al-Hasyr ayat 9 yang artinya: ("Dan mereka lebih mengutamakan orang lain (Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung"). (H.R. Bukhari)
Nasehat untuk kedua belah pihak: Jangan sampai salah satu menzalimi harta saudaranya yang lain. Jika pihak yang menghutangi mengambil lebih dari hak yang dimiliki berarti dia telah menzalimi harta pihak yang berhutang. Jika pihak yang berhutang mengingkari tanggungan hutang yang seharusnya dibayar, berarti dia telah menzalimi harta pihak yang menghutangi. Orang yang menzalimi harta saudaranya terancam menjadi Muflis (orang bangkrut) di akhirat. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (12/ 459)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda; Apakah kalian tahu siapa orang Muflis (bangkrut) itu? Mereka menjawab; orang bangkrut dikalangan kami adalah orang yang tidak punya Dirham (uang) dan barang (lagi). Nabi bersabda; Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku (adalah orang yang) datang pada hari Kiamat dengan (pahala) Shalat, Puasa dan Zakat tetapi juga membawa (dosa) mencaci fulan, menuduh fulan, memakan harta fulan, menumpahkan darah fulan, dan memukul fulan. Maka fulan (yang dizalimi) itu diberi pahala kebaikannya dan fulan (yang lain) diberi pahala kebaikannya. Jika pahala kebaikannya habis sebelum tanggungannya tuntas maka (dosa-dosa) kesalahan mereka diambil lalu dibebankan kepadanya lalu dia dilemparkan ke Neraka” (H.R.Muslim)
Wallahua'alam.
0 komentar:
Posting Komentar