Ayat di atas terkait dengan hukum dan tatacara pengumpulan dan pembagian harta rampasan perang. Bahwa setiap rampasan perang harus dikumpulkan, lalu dibagi menurut ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, yakni 20 persen masuk ke kas Negara, dan 80 persen dibagi kepada kaum muslimin yang ikut dalam perang jihad fi sabilillah, sebagaimana firman-Nya:
Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang], Maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Anfal 41).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Bermula dari peristiwa perang Badar dimana kaum muslimin memenangkan perang dan mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah). Terbetik kabar bahwa ada satu harta rampasan perang ada yang hilang. Lalu orang-orang munafiq menghembuskan isu bahwa apa yang hilang itu disembunyikan oleh Rasulullah saw. Maka turunlah firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran di atas yang menegaskan bahwa tidak mungkin seorang Nabi melakukan tindakan khianat (ghulul), tindakan korupsi, yaitu menyembunyikan harta rempasan yang harus dikumpulkan. Dalam hal ini Allah SWT membersihkan nama baik Nabi saw. dari isu busuk itu. Bahkan Allah SWT mengancam siapapun yang melakukan tindakan korupsi itu dengan ancaman bahwa apa saja yang dikorupsinya akan dikalungkan di lehernya di padang mahsyar dalam pengadilan hakiki di hari kiamat nanti.
Oleh karena itu, dalam mengangkat pejabat wali atau gubernur, atau kepala daerah, yang punya tugas antara lain memungut zakat dan pendapatan Negara lainnya, maka baginda Rasulullah saw. selalu berpesan:
Siapa saja yang kami karyakan dalam suatu pekerjaan lalu kami berikan rizki sebagai penghasilannya, maka apa yang dia ambil lebih dari itu adalah korupsi” (HR. Abu Dawud).
Ketegasan Rasulullah saw. tampak dalam panggilan beliau kepada Muadz bin Jabal yang sudah diutus menuju ke Yaman untuk menjadi wali di sana lalu segera dipanggil pulang untuk dinasihati bahwa dia dilarang untuk mengambil apa yang tidak dibenarkan baginya mengambilnya. Ketegasan Rasulullah saw. ini diteladani oleh Khalifah Umar bin Al Khaththab yang tegas mengambil harta milik seorang wali atau gubernur yang habis masa jabatannya dan memiliki kelebihan harta. Ketegasan Rasulullah saw. dan ketegasan Amirul Mukminin Khalifah Umar bin Al Khaththab itu bisa dijalankan mengingat Rasulullah saw. dan Khalifah Umar bin Al Khaththab adalah figure penguasa yang bersih.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Keteladanan pemimpin Islam yang riil di atas semestinya yang diteladani oleh para pejabat di negeri ini yang umumnya adalah muslim. Untuk bisa tegas menindak perbuatan korupsi para pejabat harus dimulai dengan ketegasan para pejabat di atasnya kepada diri mereka sendiri untuk tidak melakukan tindakan korupsi atas harta rakyat yang diamanahkan di pundak mereka.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Dalam melakukan pemberantasan korupsi, harus dimulai dari atas. Setelah pemimpin Negara merasa yakin dengan kebersihan dirinya, sebagaimana Nabi saw. yang telah dijelaskan kebersihannya oleh Allah SWT, atau Khalifah Umar yang terbukti memang bersih, jujur, dan sederhana walau harta rampasan perang sedang melimpah ruah dari penaklukan Rumawi dan Persia, maka pemimpin harus mel;akukan tindakan efektif dengan hanya mengangkat pejabat yang bersih dan bertaqwa kepada Allah SWT. Setelah itu memberikan peringatan agar jangan melakukan korupsi. Lalu tegas memberhentikan pejabat yang korup dan mengambil harta mereka untuk dikembalikan ke kas Negara (baitul mal).
Yang harus difahami, yang diperlukan rakyat bukanlah menjebloskan sekian koruptor dalam penjara dengan mekanisme keputusan pengadilan. Yang diperlukan rakyat adalah tidak adanya tindakan korupsi yang terus menerus dan sistematik. Sebab, tidak ada gunanya menghukum sekian ratus atau ribu koruptor tapi korupsi pejabat tidak menurun atau menghilang, malah sebaliknya semakin subur. Lebih parah lagi jika pemenjaraan seseorang yang disangka koruptor ternyata hanya sebuah rekayasa yang ujung-ujungnya diperas oleh aparat hukum. Rakyat sudah jenuh dengan berita korupsi yang terus ditayangkan mengganti berita-berita korupsi sebelumnya. Kalau hari ini KPK menemukan indikasi korupsi pada pejabat Polri, itu menjadi keprihatinan kita mengingat kasus-kasus besar sebelumnya seperti kasus Bank Century sebesar 6.7 T, korupsi wisma atlit Palembang, korupsi Hambalang, dll yang seolah-olah ditutupi dengan kasus-kasus baru, bahkan cenderung dnegn nilai nominal yang lebih kecil.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Korupsi sebagai extra ordinary crime harus diatas dengan cara extra ordinary. Jika KPK dan Polri serius dan tidak kisruh sendiri dalam pemberantasan korupsi maka sudah seharusnya mereka segera fokus menyelesaikan kasus-kasus besar tersebut. Jika kasus-kasus besar diselesaikan dengan baik, maka insyaallah pejabat-pejabat yang lebih kecil otomatis akan menghentikan tindakan korupsi yang selama ini biasa mereka lakukan. Dengan merebaknya korupsi di berbagai sector dan lapisan masyarakat menunjukkan bahwa cara penanganan pemberantasan korupsi ada masalah. Sehingga, sepertinya ada design tertentu dalam pemberantasan korupsi yang tidak menunjukkan perubahan sikap masyarakat, khususnya pejabat dan pegawai, korupsi jalan terus. Sehingga cenderung ada kezaliman dan ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi. Padahal Allah SWT melarang kita cenderung kepada penguasa yang zalim sebagaimana firman-Nya:
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, Kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Huud 113).
Baarakallahu lii walakum.
0 komentar:
Posting Komentar