JAKARTA (voa-islam.com) - Berbagai kasus membuktikan Joko Widodo alias Jokowi, Gubernur Jakarta dan Calon Presiden PDIP itu mau berbohong. Nampaknya, nampaknya suka 'bohong' sudah menjadi 'habit' (kebiasaan), tidak berjiwa kastria.
‘’Arah kemenangan sepenuhnya ada pada Prabowo. Jokowi telah kalah dan dia kalah dengan cepat’’ kata Doug Ramage, analisis pasar modal dari Bower GroupAsia di Jakarta, sebagaimana disiarkan The Wall Street Journal, media Hongkong itu, 29 Juni lalu. Berbagai survei yang diumumkan menjelang pemilihan presiden 9 Juli ini, juga memperlihatkan kecendrungan Prabowo Subianto-Hatta akan memenangkan pertarungan.
Yang menarik, 3 bulan lalu, Joko Widodo alias Jokowi masih memimpin persaingan untuk menjadi Presiden Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Sebelumnya selama sekitar 2 tahun nama Jokowi, Walikota Solo, kota kecil di Jawa Tengah itu, betul-betul meroket seakan ‘’manusia ajaib’’.
Padahal tak ada prestasi Jokowi yang istimewa. Ia tak ada apa-apanya dibanding Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang menghias kota pelabuhan di Jawa Timur itu dengan taman-taman yang indah. Sementara Solo di tangan Jokowi tetap saja sebuah kota kecil yang gersang.
Tapi Jokowi jadi buah bibir berkat pemberitaan media yang terus-menerus memujanya. Media membentuk gambaran (image) seolah-olah Jokowi seorang pejabat yang jujur, merakyat, dan menyayangi rakyat kecil, suka blusukan, serta memiliki kecerdasan dan kreativitas yang luas biasa.
Coba, nama Jokowi meroket sampai ke Jakarta pertama kali sebagai Walikota yang memacu kreativitas siswa SMK 2 Solo sehingga berhasil membuat mobil. Jakarta geger ketika mobil siswa SMK itu dipacu dari Solo ke Jakarta. Pemberitaan media meledak pada waktu itu di tahun 2012. Para pejabat, pengusaha, pengamat, dan selebritis, berlomba-lomba memesan mobil buatan Solo itu. Kemudian apa yang terjadi?
Ternyata mobil SMK itu adalah proyek kebohongan besar Jokowi. Mobil itu bukan buatan siswa SMK 2
Ternyata mobil SMK itu adalah proyek kebohongan besar Jokowi. Mobil itu bukan buatan siswa SMK 2 (Sekolah Menengah Kejuruan) Solo, tapi diimpor secara terpisah oleh teman-teman Jokowi. Mobil itu sesungguhnya merk Foday buatan China. Pembohongan publik ini terbongkar karena Jokowi konflik dengan H.Sukiyat, pemilik bengkel di Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, tempat mobil impor dari China itu dirakit H.Sukiyat kemudian buka mulut soal mobil impor dari China itu.
Anehnya, meski proyek pembohongan masyarakat itu telah ketahuan, Jokowi yang ketika itu sudah meloncat dari Walikota Solo jadi Gubernur Ibukota Jakarta, tak menerima risiko apa pun. Masyarakat tak menuntut Jokowi untuk bertanggung jawab atas kebohongan itu. Media massa yang sebelumnya riuh-rendah mengampanyekan mobil SMK kemudian senyap begitu saja. Tak ada yang meminta Jokowi harus bertanggung-jawab atas semua kebohongan itu.
Aneh bin ajaib. Sebagai seorang yang berpuluh tahun pernah hidup sebagai wartawan saya tak bisa mengerti bagaimana pers terus-menerus mengelu-elukan Jokowi setelah terbukti proyek mobil SMK itu hanya ‘’tipu-tipu’’ semata. Biasanya wartawan adalah kelompok manusia kritis yang tak gampang percaya kepada siapa pun. Apalagi percaya kepada seseorang yang terbukti telah berbohong.
Tapi nyatanya sekarang Jokowi sudah menjadi calon Presiden Republik Indonesia. Dia dicalonkan PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan partai tak lolos treshold PKPI pimpinan Sutiyoso, bekas Gubernur Jakarta. Tak kepalang tanggung, selain MetroTV milik Surya Paloh, pimpinan Nasdem itu, media yang mendukung Jokowi adalah Kompas dan groupnya serta majalah TEMPO.
Aneh bagaimana orang-orang Kompas, koran Katolik itu, dan TEMPO yang sekuler, bisa menerima seorang calon Presiden seperti Jokowi, setelah terbongkarnya proyek mobil SMK yang penuh kebohongan.
Dan lagi-lagi keanehan terjadi. Meski sudah jadi calon Presiden tak satu pun media yang mempersoalkan proyek ‘’tipu-tipu’’ mobil SMK. Sementara pesaingnya sebagai Capres, Prabowo Subianto, bekas Komandan Jenderal Kopassus, bekas Panglima Kostrad, yang diberhentikan dengan hormat oleh Presiden B.J.Habibie dalam gonjang-ganjing politik tahun 1998, justru terus-menerus jadi sorotan dan serangan media. Bekas mantu Pak Harto itu, dipersoalkan sebagai bertanggung jawab atas kasus penculikan 9 aktivis di tahun 1998.
Menggunakan ukuran pada waktu itu, sebenarnya 9 aktivis itu bukan diculik melainkan ditangkap dan ditahan. Sejumlah anggota Kopassus yang terlibat dalam peristiwa itu telah diadili dan dihukum. Di pengadilan mereka terus-terang mengaku bertindak atas insiatif sendiri, tanpa ada perintah atasan, apalagi perintah Prabowo selaku Komandan Jenderal Kopassus.
HABIBIE TAK SAMPAI HATI
Sebelum reformasi 1998 yang disebut zaman Orde Baru, institusi militer berhak dan biasa saja menangkap dan menahan orang. Kodim, Korem, Kodam, atau Mabes ABRI dan institusinya biasa saja menangkap dan menahan orang di masa itu. Jadi 9 aktivis itu sesungguhnya ditangkap dan ditahan Kopassus. Istilah penculikan digunakan setelah zaman reformasi karena mereka ditangkap dan ditahan tanpa surat perintah dan penahanan, dan oleh institusi yang tak berhak untuk menangkap dan menahan mereka.
Tapi mengapa Prabowo harus bertanggungjawab sekali pun di pengadilan terbukti dia tak terlibat? Ini soal persaingan Prabowo dengan Wiranto. Prabowo adalah mantu Presiden Soeharto, sementara Jenderal Wiranto dikenal punya hubungan dekat dengan putra-putri Pak Harto. Ketika itu dia akrab dengan Tomy Soeharto, Bambang, dan Mami Soeharto.
Dengan modal itu Wiranto yang semula ajudan Pak Harto meroket menjadi Pangdam Jaya, Kasad, dan Panglima ABRI. Dengan karirnya yang cepat itu (meski tanpa prestasi yang konkret) dia bersaing dengan Prabowo Subianto. Prabowo seorang yang sangat cerdas. Prestasinya terus-terusan bersinar.
Bersama pasukannya dia berhasil menyergap Nicolai Lobato, Wakil Panglima Fretelin di Timor Timur, dan kemudian Xanana Gusmao, Panglima Fretelin.
Dia pula bersama pasukannya berhasil dengan sukses membebaskan sejumlah peneliti asing yang disandera gerombolan OPM di belantara Papua.
Aksi ini mendapat pujian internasional sehingga nama Kopassus dan Prabowo pun menjulang. Nama Kopassus kian melambung setelah berhasil mendaki dan menaklukkan puncak Gunung Everest (bahasa Inggris: Mount Everest) di Himalaya.
Ketika pecah reformasi 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri di tengah maraknya demonstrasi mahasiswa, digantikan wakilnya B.J.Habibie. Jenderal Wiranto diangkat menjadi Panglima ABRI. Dalam keadaan di atas angin itulah Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk mengusut kasus penculikan tadi. Ini jelas langkah Wiranto guna menghabisi pesaingnya, Prabowo.
Habibie rupanya tak sampai hati karena tampaknya dia tahu juga langkah Wiranto untuk menghabisi saingannya.
Habibie rupanya tak sampai hati karena tampaknya dia tahu juga langkah Wiranto untuk menghabisi saingannya. Dalam keputusannya sebagai presiden, Habibie memberhentikan Prabowo dengan hormat dan diberi pula hak pensiun.
Jelas Jenderal Wiranto menggunakan isu penculikan itu untuk menghabisi Prabowo.
Buktinya, Wiranto hanya membentuk DKP untuk kasus penculikan 9 aktivis, meski pun para aktivis itu semua sehat walafiat – malah 2 di antaranya sekarang menjadi anggota DPR-RI. Kalau benar untuk memenuhi tuntutan reformasi mengapa Wiranto tak membentuk DKP untuk mengadili berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM lainnya di zaman Orde Baru?
Misalnya, untuk kasus pembantaian Lampung yang menyebabkan sekitar 400 nyawa melayang. Yang bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM dengan korban terbesar di masa Orde Baru ini adalah Hendropriyono, Komandan Korem Lampung pada waktu itu.
Kini Hendropriyono, Kepala BIN di zaman Presiden Megawati, menjadi salah satu tim sukses Joko Widodo bersama Wiranto.
Atau mengapa Wiranto tak membentuk DKP untuk kasus penembakan misterius yang menyebabkan ratusan, bahkan mungkin ribuan rakyat terbunuh? Presiden Soeharto sendiri di dalam sebuah bukunya mengakui terjadinya Petrus, eksekusi terhadap orang-orang yang dituduh preman tanpa dibawa ke pengadilan.
Oleh karena itulah agaknya, sekali pun Prabowo Subianto, calon presiden yang didukung Partai Gerindra, Golkar, PKS, PPP, dan sejumlah partai lainnya, terus-menerus diserang dengan isu penculikan aktivis, dukungan rakyat terhadapnya terus naik. Menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014, berbagai survei memperlihatkan kemenangan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.
Media Hongkong The Wall Street Journal tadi menyebutkan rumor yang beredar bahwa Jokowi seorang keturunan China dan beragama Kristen menjadi penyebab anjloknya dukungan rakyat terhadap calon Presiden nomor urut 2 itu. Langkah Jokowi membantah rumor itu malah menyebabkan isu tambah menyebar di masyarakat.
Ketika masa kampanye berakhir, Jokowi pun langsung berangkat umroh ke Tanah Suci Mekkah. Tampaknya ini pun masih merupakan upaya Jokowi membantah isu tadi. Maka fotonya memakai baju Ihram di Kota Suci Mekkah segera ditampilkan MetroTV, media pendukung fanatik Jokowi. Sayang Jokowi salah memakai baju itu sehingga tampak terbalik. Ada yang bilang karena baju ihram itu umrah Jokowi tak sah. Ada yang bilang tak ada masalah.
Yang lebih merepotkan, dukungan partainya, PDIP, dalam pencalonan Jokowi tampak setengah hati. Tim Suksesnya juga dikabarkan bekerja tak maksimal. Ini menyebabkan kampanye-kampanye Jokowi kurang semarak.
Lebih berat lagi adalah isu ketidak-mampuan Jokowi menjadi presiden sebuah negara besar seperti Indonesia dengan 240 juta penduduk. Soalnya, menjadi Gubernur Jakarta saja selama 2 tahun ini, Jokowi sudah menghadapi banyak masalah. Paling menonjol adalah kasus impor bus berkarat dari China bernilai Rp 1,5 trilyun yang kini ditangani Kejaksaan Agung.
Selain itu Jokowi sudah terbukti mau berbohong – selain kasus mobil SMK tadi -- dan itu tentu saja menjadi masalah besar bila dia terpiliah menjadi Presiden. Pelaksana tugas (plt) Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) justru orang yang mengungkapkan kebohongan Joko Widodo alias Jokowi.
Ketika bersilaturahim ke Pondok Pesantren Bustanul Ulum, Kelurahan Sumelap, Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis 12 Juni 2014, Jokowi menyatakan kepada para santri dan kiai bahwa ia telah menyerahkan beberapa dokumen kasus bus Transjakarta ke KPK. "Waktu ada berita mengenai bus Transjakarta, detik itu juga kepala dinasnya langsung saya copot. Kemudian dokumen-dokumen yang ada langsung kami berikan ke KPK," ujar Jokowi.
Padahal menurut Ahok, Pemda DKI Jakarta belum pernah melapor atau memberikan surat resmi tentang bus Transjakarta ke KPK. "Pak Jokowi enggak pernah lapor KPK (soal kasus Bus Transjakarta). Enggak ada surat resmi," kata Ahok di Balai Kota, Jakarta, 25 Juni lalu.
Sebelumnya, KPK sendiri telah menyatakan Jokowi tak pernah melaporkan dugaan adanya korupsi dalam pengadaan Bus Transjakarta. "Mereka tak pernah melaporkan," kata Johan Budi, Juru Bicara KPK, 17 Juni 2014.
Soalnya, teman dekat Jokowi sesama pedagang mebel di Solo, Bimo Putranto, terlibat dalam impor bus China. Maka Jokowi pun tampaknya akan tersangkut dalam kasus ini. Ternyata bukan kali ini saja Jokowi berbohong. Menurut Fahri Hamzah, tokoh PKS yang menjadi Tim Sukses Prabowo-Hatta, dalam debat Calon Presiden-Wakil Presiden Minggu, 6 Juli lalu, Jokowi melakukan sejumlah kebohongan. ‘’Tak bermaksud mau mengganggu minggu tenang tapi karena media terus menyiarkan sesuatu yang dusta maka itu perlu diluruskan,’’ kata Fahri.
Dalam debat itu Jokowi membantah pernyataan Prabowo Subianto bahwa dia pernah berpidato dalam suatu acara mengatakan tak setuju adanya koperasi untuk petani. "Mestinya Jokowi tak boleh membantah karena dia sudah mengatakan tak setuju koperasi untuk petani. Dia sudah mengatakan itu dan jelas tertulis di koran-koran," kata Fahri.
Kebohongan Jokowi lainnya, kata Fahri, Kota Solo ketika dipimpin Jokowi tak pernah meraih penghargaan Green City dari Kementerian Lingkungan Hidup. Saat debat capres, 5 Juli 2014, calon wakil presiden nomor urut 1 Hatta Rajasa bertanya kepada Jokowi: mengapa Kota Solo tak pernah meraih penghargaan.
Jokowi menjawab: "Solo pernah mendapat penghargaan Green City dari Kementerian Lingkungan Hidup, bisa dicek." Padahal setelah dicek diketahui Kementerian Lingkungan Hidup tak pernah memberikan penghargaan dimaksud ke Solo. ‘’Dan memang kategori itu tak ada,’’ kata Fahri Hamzah, "Saya harap, Jokowi jangan suka bohong di bulan puasa, karena itu bisa membatalkan puasa.’’
Penulis: Amran Nasution - Mantan Redaktur Pelaksana Tempo
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/07/08/31457/jokowi-siapa-yang-berbohong-di-bulan-puasa/#sthash.pJoLgAXB.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar