Oleh: Muhaimin Iqbal*
PERDEBATAN mengenai isu redenominasi rupiah terus berlanjut di media-media sampai hari ini. Secara umum kalau saya baca sepintas yang menolak nampaknya lebih banyak dari yang mendukung. Pemerintah dan bahkan Bank Indonesia pun yang meniup peluit nampaknya cooling down dengan menyatakan bahwa redenominasi rupiah bukan fokus utama saat ini. Masyarakat tidak perlu cemas karena redenominasi paling tidak - tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Masalahnya adalah apakah redenominasi rupiah ini memang perlu? Dan kalau perlu, kapan sebaiknya dilakukan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut saya, biarlah ahlinya yang menjawab, yaitu Bank Indonesia. Jangan biarkan para politikus yang menjawabnya, karena justru akan membuat isu redenominasi ini menjadi bola liar yang tidak menguntungkan ekonomi dan tidak menguntungkan rakyat.
Kita semua tahu isu ini tidak popular, para penguasa tentu akan berat hati seandainya harus mengambil keputusan ini karena akan berdampak buruk pada reputasinya. Sebaliknya lawan-lawan politik dapat menggunakan isu ini untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk meraih simpati rakyat dengan seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat – dengan menolak redenominasi rupiah misalnya.
Salah satu cara untuk melihat perlu tidaknya redenominasi dilakukan adalah dengan mengukur daya beli uang fiat terhadap suatu komoditi baku (atau sekelompok komoditi) yang nilainya stabil sepanjang masa. Karena data yang saya punya untuk contoh stabilitas harga sepanjang zaman itu adalah kambing dan emas, maka saya dapat gunakan salah satunya untuk membuat analisa perlu tidaknya redenominasi ini. Di antara keduanya saya pilih emas karena datanya lebih lengkap dan dapat Anda verifikasi dengan berbagai sumber data lainnya seperti kitco.com, dan lain sebagainya.
Pertama, saya ambil data harga emas per gram dalam dua mata uang, yaitu rupiah dan US$ selama 40 tahun terakhir. Mengapa 40 tahun? Karena sejak 40 tahun lalu tepatnya Agustus 1971 mata uang fiat dunia dilepas kaitannya dari standar emas. Sejak saat itulah uang fiat di seluruh dunia bergerak liar, sebagian lebih terkendali dari sebagian yang lain.
Data-data tersebut kemudian saya sajikan dalam grafik logaritmik di mana jarak satu gridline yang satu dengan gridline di bawahnya adalah kelipatan 10 – atau merepresentasikan satu angka nol. Hasilnya perhatikan pada grafik pertama di bawah.
Perhatikan pada grafik US$ yang hanya melewati satu gridline sepanjang 40 tahun terakhir. Hal ini karena dalam US$ harga emas ‘hanya’ mengalami kenaikan 33 kali selama 40 tahun terakhir. Sebaliknya rupiah menerobos 3 gridlines selama 40 tahun terakhir yaitu tahun 1973, 1980 dan 1998. Hal ini terjadi karena dalam rentang waktu 40 tahun yang sama harga emas dalam rupiah mengalami kenaikan sampai 790 kalinya. Apa maknanya ini?
Negara-negara yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut – negara semacam ini memang tidak memerlukan redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah angka nol dalam mata uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak) akan terus bertambah sehingga apabila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar. Mata uang dari negara semacam ini – termasuk diantaranya rupiah kita – perlu di redenominasi dari waktu ke waktu.
Lantas kapan sebaiknya redenominasi ini dilakukan? Lagi-lagi saya gunakan harga emas untuk menentukan kapannya – yaitu pada saat harga emas melewati gridline tertentu yang dipandang sudah terlalu tinggi dalam mata uang yang bersangkutan. Bila persentuhan pada gridline ini bersamaan dengan situasi ekonomi dan inflasi yang stabil, maka namanya adalah redenominasi. Tetapi bila persentuhannya bersamaan dengan gonjang-ganjing ekonomi dan inflasi tinggi – maka namanya adalah sanering.
Pada tahun 1983 harga emas per gram dalam rupiah adalah Rp 12,242/gram dan dalam Dollar adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam uang rupiah dihilangkan saat itu, maka harga emas dalam rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram , sedangkan dalam Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila rupiah di redominasi pada tahun 1983 dengan membuang tiga angka nol, maka nilai tukar rupiah saat itu menjadi 1 US$ 1 = Rp 0.90, keren bukan...?.
Tahun 1983 negeri ini tidak memandang perlu melakukan redenominasi, begitu pula di puncak krisis 15 tahun kemudian – kita tetap tidak merasa perlu melakukan redenominasi secara terpaksa atau sanering, kesempatan berikutnya adalah tahun 2004 pada saat harga emas dalam rupiah mencapai Rp 102,000/gram dan dalam Dollar berada pada angka US$ 13.17/gram.
Bila redenominasi dengan membuang tiga angka nol dilakukan saat itu, maka harga emas dalam rupiah akan menjadi Rp 102.00/gram dan dalam US$ tetap US$ 13.17 atau nilai tukar rupiah menjadi US$ 1 = Rp 7.74. Karena hal ini pun tidak ada yang merasa perlu melakukannya pada tahun 2004, maka kini seperti yang Anda lihat pada grafik – harga emas (yang merepresentasikan harga-harga kebutuhan manusia) sudah berada di separuh perjalanan menuju gridline berikutnya.
Seandainya pun dilakukan pada tahun 2004 dengan membuang tiga angka nol, nilai tukar kita tahun tersebut belum keren-keren amat karena masih US$ 1 = Rp 7.74. Didorong oleh rata-rata inflasi rupiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dollar, saat ini nilai tukar tersebut diperkirakan sudah mencapai US$ 1 = Rp 9.15.
Redenominasi baru akan memberikan nilai tukar rupiah yang keren di kisaran US$ 1,- = Rp 1,- adalah seandainya pada tahun 2004 tersebut otoritas negeri ini mau me-redenominasi rupiah dengan membuang 4 angka nol dan bukan 3 angka nol! Efek dari ini maka harga emas di tahun tersebut akan menjadi Rp 10.20/gram, sementara harga emas dalam Dollar masih US$ 13.17/gram; atau nilai tukar rupiah saat itu menjadi US$ 1,- = Rp 0.77,-. Kemudian karena efek inflasi rupiah yang lebih tinggi, bila hal tersebut dilakukan di tahun 2004 – maka saat ini kita akan memiliki nilai tukar rupiah yang keren yaitu pada angka perkiraan US$ 1,- = Rp 0.92.
Well, karena tidak ada yang melakukannya tahun 1983, juga 2004 – maka kalau ada yang melakukannya sekarang – ini masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Akan menyakitkan dan tidak popular memang, tetapi dalam beberapa tahun mendatang pengguna rupiah akan mensyukurinya karena keberanian otoritas tahun –tahun sebelumnya. Sama dengan bersyukurnya kita saat ini – alhamdulillah pemerintah negeri ini tahun 1965 berani melakukan sanering rupiah, bila tidak maka uang yang Anda berikan ke Pak Ogah pun bukan lagi Rp 1,000,- tetapi Rp 1.000.000,- !. Wa Allahu A’lam.
Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis www.hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar